Dari namanya, kita tahu bahwa Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq adalah putra Abu Bakar ash-Shiddiq. Pada awal sejarah Islam, ia sempat galau hingga sekian lama tidak mengikuti jejak ayahnya.
Namun, hidayah akhirnya menyapa. Meskipun masuk Islam terakhir dari kalangan anak Abu Bakar, kepahlawanan Abdurrahman segera melejit dalam beberapa perang membela Islam.
Keluarga dan Masa Muda Abdurrahman
Abdurrahman adalah anak Abu Bakar ash-Shiddiq dan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir. Sebelum menikah dengan Abu Bakar, Ummu Ruman telah memiliki seorang putra bernama At-Thufail dari pernikahannya sebelumnya. Pernikahan Abu Bakar dan Ummu Ruman kemudian dianugerahi dua anak, yaitu Aisyah Ummul Mukminin dan Abdurrahman bin Abu Bakar.
Nama asli Abdurrahman adalah Abdul Ka’bah. Ketika ia memeluk Islam, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Abdurrahman, yang berarti “hamba Allah Yang Maha Pengasih.”
Dalam Barisan Musyrik di Perang Badar
Sebagai pemuda yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat Quraisy di Makkah, Abdurrahman pada mulanya tidak mengikuti jejak ayahnya untuk memeluk Islam. Bahkan, ketika Perang Badar meletus, Abdurrahman memilih berada di barisan pasukan Quraisy yang menentang kaum Muslim.
Pertempuran Badar menjadi saksi kekalahan telak Quraisy, di mana para pemimpin mereka tewas atau menjadi tawanan. Abdurrahman menyaksikan kekuatan iman dan keteguhan kaum Muslim telah mengantar jamaah baru tersebut menuai kemenangan. Padahal, jumlah pasukan Islam hanya 313 orang. Sedangkan jumlah pasukan Quraisy mencapai 1.000 orang dengan persenjataan yang lebih lengkap.
Baca juga: Abdullah bin Zubair
Menghadapi Ayahnya di Perang Uhud
Di Perang Uhud, Abdurrahman sekali lagi hadir di barisan kaum musyrik. Ketika pertempuran berkecamuk, Abdurrahman dengan berani menantang kaum Muslim untuk berduel, sambil menghunus pedangnya dan berseru lantang.
Teriakannya terdengar oleh ayahnya, Abu Bakar, yang langsung tertegun karena mengenali suara putranya. Naluri seorang ayah sekaligus pembela Islam menggerakkan Abu Bakar untuk menghadapi tantangan Abdurrahman.
Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencegahnya. Beliau tidak ingin ada pertumpahan darah antara seorang ayah dan anak. Beliau tidak ingin terulang kembali sebagaimana Perang Badar ketika Abu Ubaidah bin al-Jarrah membunuh ayahnya sendiri yang berada di barisan kafir Quraisy.
Meskipun takdir menggariskan bahwa Abdurrahman belum menerima Islam kala itu, kehendak Allah tak dapat dihindari. Lambat laun, Allah menanamkan hidayah dalam hatinya.
Baca juga: Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah
Masuk Islam dan Menjadi Pembela Agama
Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Allah menggerakkan hati Abdurrahman untuk pergi ke Madinah dan menyatakan syahadat di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu bakar menyambut gembira kedatangan putranya itu. Sahabat yang selalu membenarkan Rasulullah ini tak dapat menyembunyikan air mata haru menyaksikan putranya berikrar di jalan Islam.
Dengan penuh keikhlasan, Abdurrahman memulai hidup barunya sebagai seorang Muslim, meninggalkan masa lalu, dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama. Ia merasa harus optimal beramal untuk mengejar ketertinggalannya dalam masuk Islam.
Semangat Abdurrahman dalam memperjuangkan Islam semakin kuat dari waktu ke waktu. Ketika panggilan jihad tiba, ia selalu siap mengangkat senjata demi membela Islam.
Salah satu pertempuran di mana Abdurrahman berperan penting adalah Perang Yamamah. Di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid, Abdurrahman menghadapi kaum murtad pengikut Musailamah Al-Kadzab.
Di medan laga, meskipun Abdurrahman tidak berhasil menewaskan Musailamah, ia berhasil membunuh Muhakkam bin al-Thufail, pembantu setia Musailamah. Sedangkan Musailamah, nabi palsu itu roboh ke tanah setelah terkena tombak Wahsyi bin Harb, pedang Abdullah bin Zaid bin Ashim, dan pedang Abu Dujanah.
Pemberani dan Teguh dalam Kebenaran
Selain keberanian dalam medan pertempuran, Abdurrahman dikenal sebagai pribadi yang tegas dalam membela kebenaran. Suatu ketika, Muawiyah bin Abu Sufyan mengirim perintah kepada Marwan, gubernur Madinah, untuk membaiat Yazid, putranya, sebagai pengganti kekhalifahan.
Keputusan ini memicu ketidakpuasan dari beberapa sahabat, termasuk Abdurrahman. Ia mengungkapkan protesnya dengan suara lantang di depan masjid, menyatakan bahwa umat Islam tidak seharusnya mengikuti sistem warisan kekuasaan seperti yang berlaku pada Kaisar Romawi. Bagi Abdurrahman, pemimpin harus dipilih berdasarkan ketakwaan dan kualitas pribadi, bukan karena garis keturunan.
Keteguhannya diuji ketika Muawiyah mengirim hadiah berupa seribu dirham untuk melunakkan sikapnya. Namun, Abdurrahman menolak hadiah tersebut dengan tegas. Ia berpesan kepada utusan Muawiyah, “Sampaikan kepada Muawiyah bahwa Abdurrahman tidak akan pernah menjual agamanya demi dunia.”
Keteguhan hati Abdurrahman dalam mempertahankan prinsipnya merupakan cerminan kesetiaannya pada nilai-nilai Islam yang mengedepankan kebenaran dan keadilan.
Tidak lama berselang setelah penolakan Abdurrahman, Muawiyah bertolak menuju Madinah. Mendengar bahwa Muawiyah akan datang ke Madinah, Abdurrahman memutuskan untuk pergi ke Makkah agar tidak bertemu dengannya. Namun, sebelum mencapai Makkah, ajal menjemputnya.
Perjalanannya dalam Islam berakhir dengan meninggalkan keteladanan besar bagi umat. Dalam keseharian maupun di medan pertempuran, ia menunjukkan bahwa seorang Muslim sejati tidak hanya berjuang dengan fisik, tetapi juga dengan prinsip dan keteguhan hati.
Baca juga: Abdullah bin al-Za’bari
Hikmah Kisah Abdurrahman bin Abu Bakar
Kisah hidup Abdurrahman bin Abu Bakar mengajarkan tentang makna keikhlasan, perjuangan, dan keberanian dalam membela kebenaran. Perjalanan spiritualnya dari barisan musuh hingga menjadi pejuang Islam adalah pelajaran abadi tentang proses hidayah yang hanya berada dalam genggaman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abdurrahman, putra dari sahabat setia Rasulullah, akhirnya menjadi sosok Muslim yang membela Islam dengan segenap kemampuannya. Semoga Allah merahmati Abdurrahman dan menjadikannya teladan bagi kita dalam menegakkan kebenaran, keadilan, dan keikhlasan dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah hidupnya adalah pengingat bahwa dalam Islam, keikhlasan dan keberanian adalah dua hal yang akan selalu berharga, bahkan setelah masa kehidupan seorang Muslim di dunia berakhir. [Kisah Hikmah]