Di antara banyak sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang termasyhur karena kesetiaan dan pengorbanan, terdapat sosok Abdullah Dzul Bijadain. Ia seorang yatim yang miskin, namun akhirnya memeluk keimanan yang membawa kemuliaan. Ia menjadi inspirasi karena keberaniannya meninggalkan kenikmatan dunia yang fana demi ridha Allah dan surga-Nya.
Perjalanan Awal Abdullah Dzul Bijadain
Nama asli Abdullah Dzul Bijadain adalah Abdul Uzza. Sejak kecil, ia diasuh oleh pamannya setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Pamannya memberinya kehidupan yang layak, sehingga ia tidak kekurangan dalam hal materi. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mulai mendakwahkan Islam di Madinah, hati Abdullah tergerak untuk memeluk agama yang membawa cahaya kebenaran itu.
Keinginan Abdullah untuk masuk Islam, sayangnya, terhalang oleh pamannya yang masih memegang teguh keyakinan lama. Bertahun-tahun, ia berharap pamannya akan mengikuti jejaknya dalam memeluk agama Islam, tetapi tidak ada tanda-tanda minat dari sang paman.
Akhirnya, ia memberanikan diri berkata kepada pamannya, “Wahai pamanku, sudah lama aku menunggu kesediaanmu agar kita dapat masuk Islam, namun aku tidak melihatmu tertarik terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad. Maka izinkanlah aku untuk masuk Islam.”
Sang paman yang marah, memberikan Abdullah dua pilihan—meninggalkan Islam atau meninggalkan segala hal yang telah diberikan sang paman, termasuk pakaian yang ia kenakan.
Tanpa ragu, Abdullah memilih Islam dan menyerahkan kembali segala sesuatu yang pernah pamannya berikan, bahkan kain sarung yang ia pakai sebagai penutup aurat. Setelah itu, ia pergi menemui ibunya, dan sang ibu, dengan kasih sayang, memberikan kain kasar miliknya yang dibelah menjadi dua helai untuk dipakai Abdullah.
Baca juga: Abdurrahman bin Abu Bakar
Hijrah Menuju Madinah
Berbekal kain pemberian ibunya, Abdullah berjalan ke Madinah untuk bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sana, ia berbaring di Masjid Nabawi dan menunggu datangnya waktu subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang biasa menyapa umatnya setiap pagi, melihat Abdullah dan bertanya, “Kamu siapa?” Abdullah pun menceritakan kisah hidupnya, termasuk bahwa namanya dulu adalah Abdul Uzza.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah mendengar seluruh kisahnya, memanggilnya dengan sebutan baru, “Sejak detik ini, kamu adalah Abdullah Dzul Bijadain.”
Gelar ini berarti “pemilik dua kain kasar,” yang merefleksikan kesederhanaan dan keteguhan hatinya. Rasulullah bahkan memintanya untuk ke rumah beliau dan secara khusus membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Abdullah.
Baca juga: Abdullah bin Zubair
Hari-hari Penuh Dzikir
Setelah memeluk Islam, Abdullah merasakan hari-harinya penuh kebahagiaan. Ia menghabiskan waktunya untuk memperbanyak dzikir dan ibadah. Agaknya, salah satu ayat yang menjadi inspirasinya sekaligus menggambarkan kehidupannya yang baru adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? (QS. Al-An’am: 122)
Kecintaan Abdullah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semakin bertambah. Dia menjadi sahabat yang selalu berada di dekat beliau demi mendapatkan petunjuk, ilmu, dan meniru akhlak mulia Nabi. Hubungan ini mencerminkan kecintaan yang mendalam, seakan dunia ini menjadi surga baginya selama ia bersama Rasulullah.
Tidak jarang Abdullah terlihat mengeraskan bacaan Al-Qur’an ketika beribadah. Mengenai hal ini, Rasulullah pernah berkomentar kepada seorang sahabat, “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang bertaubat.” Kesaksian Nabi ini menjadi kebanggaan bagi Abdullah.
Baca juga: Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah
Keberanian di Medan Perang
Dalam setiap perjuangan bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdullah selalu tampil penuh semangat. Begitu besar kecintaannya pada agama Islam, sehingga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak berangkat ke Perang Tabuk, Abdullah turut serta dan berharap akan mati syahid di medan perang.
Ia mengungkapkan harapannya kepada Nabi, “Doakanlah agar aku meraih syahid dalam perang ini.”
Rasulullah menepuk bahu Abdullah dan berkata, “Ya Allah, aku tak ingin darahnya tertumpah oleh kaum kafir.”
Abdullah merasa kecewa karena Rasulullah tidak mendoakan syahid untuknya, tetapi beliau melanjutkan, “Jika kamu mati karena jatuh dari tungganganmu atau diserang penyakit, maka kamu tetap mati syahid.”
Takdir akhirnya membawa Abdullah untuk meninggal bukan di medan perang, tetapi karena sakit saat berperang di Tabuk.
Baca juga: Abdullah bin Zaid bin Ashim
Momen Pemakaman yang Mengharukan
Kisah pemakaman Abdullah Dzul Bijadain menjadi momen yang sangat mengharukan bagi para sahabat Nabi. Suatu malam, Ibnu Mas’ud melihat ada cahaya obor di salah satu sudut markas tentara di Tabuk. Ia menghampiri cahaya tersebut dan menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar tengah mengurus jenazah Abdullah. Rasulullah bahkan turun langsung ke dalam liang kubur untuk menguburkannya.
Saat Abu Bakar dan Umar menurunkan jasad Abdullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memeluk jenazah itu dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya pada malam ini aku ridha kepadanya, maka ridhailah dia.”
Ibnu Mas’ud yang menyaksikan peristiwa itu tak mampu menahan kekagumannya, dan berkata dengan penuh penyesalan, “Duhai, seandainya aku yang dikuburkan ketika itu.”
Abdullah Dzul Bijadain meninggal dalam keridhaan Rasulullah dan mendapat doa khusus dari beliau, suatu kehormatan yang sangat besar bagi seorang sahabat.
Baca juga: Abdullah bin al-Za’bari
Hikmah Kisah Abdullah Dzul Bijadain
Kisah Abdullah Dzul Bijadain menjadi salah satu contoh pengorbanan seorang sahabat yang rela meninggalkan segala harta demi iman. Abdullah menunjukkan bahwa keindahan dunia tak sebanding dengan kedamaian hati yang terpancar dari iman. Pemberian pamannya yang dulu ia nikmati kini telah ia tinggalkan, karena ia lebih memilih hidup dalam kemuliaan Islam yang memberikan kekayaan spiritual tanpa batas.
Kedermawanan, keikhlasan, dan cinta yang tulus pada Allah serta Rasul-Nya menjadikan Abdullah Dzul Bijadain sebagai teladan sejati. Kehidupannya yang singkat tetapi penuh berkah mengajarkan bahwa iman dan keyakinan akan membawa seorang hamba kepada puncak ketenangan sejati.
Abdullah, pemilik dua kain kasar, telah membuktikan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasul adalah jalan menuju kekayaan yang sejati—kekayaan yang tidak hanya memberinya kebahagiaan di dunia tetapi juga kemuliaan di akhirat. [Kisah Hikmah]