Abdullah bin al-Za’bari adalah sosok yang pernah berdiri di garis paling depan sebagai pembela Quraisy dan penentang Islam di masa awal. Lahir dari suku Quraisy, keturunan Bani Sahmi, Ibnu al-Za’bari adalah seorang penyair ulung. Ia setara dengan para penyair terkenal Quraisy lainnya seperti Amr bin al-Ash, Dhirar bin al-Khattab, dan Abu Sufyan bin al-Harits.
Syair-syair mereka, khususnya karya Ibnu al-Za’bari, sering digunakan untuk menyerang dan menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya dengan sindiran tajam dan fitnah kejam. Namun, seiring perjalanan waktu, hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyapa hati Abdullah bin al-Za’bari, membawanya dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Penyair Makkah yang Menentang Dakwah
Di masa jahiliah, Abdullah bin al-Za’bari terkenal sebagai penyair yang tak hanya berbakat tetapi juga sangat gigih menentang ajaran Islam. Syair-syairnya mengandung kata-kata yang penuh ejekan terhadap dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang saat itu mengajak masyarakat Makkah untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sosoknya disegani, bahkan dianggap sebagai salah satu penyair Quraisy terbaik pada zamannya. Ibnu al-Atsir menuturkan dari al-Zubair bahwa menurut para periwayat Quraisy, Abdullah bin al-Za’bari adalah penyair terbaik, meskipun al-Zubair sendiri berpendapat bahwa Dhirar bin al-Khattab masih lebih unggul darinya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mulai menyebarkan ajaran Islam secara terbuka, Abdullah bin al-Za’bari tak tinggal diam. Ia menggunakan bakatnya dalam syair untuk membela kejahiliyahan dan menyakiti hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, siapa sangka, justru di masa kejayaannya sebagai penyair yang lantang menentang Islam, Abdullah perlahan mulai merasakan kegelisahan yang kian menghimpit hatinya.
Baca juga: Abdullah bin Umar
Kala Hidayah Menghampiri Ibnu al-Za’bari
Hidayah Allah bisa datang kepada siapa saja, dan kapan saja. Abdullah bin al-Za’bari menerima hidayah saat dalam pelarian.
Setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun 8 Hijriah, Ibnu al-Za’bari melarikan diri ke Najran bersama seorang sahabatnya, Hubairah bin Abu Wahab al-Makhzumi, untuk menghindari dakwah Islam yang semakin luas dan kuat di Makkah. Keputusan ini bukanlah hal yang aneh, mengingat saat itu hatinya masih keras dan menolak Islam. Ia tetap memilih menjauh, mencoba menyembunyikan diri dari dakwah yang selama ini ia tentang
Namun, suara kebenaran tetap menghampirinya di tempat persembunyian. Ibnu Hisyam dalam sirahnya mengutip riwayat dari Ibnu Ishaq dari Said bin Abdurrahman bahwa Abdullah mendengar syair dari Hassan bin Tsabit, salah seorang penyair yang memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam syair tersebut, Hassan menyindir keberadaannya di Najran, mengisyaratkan bahwa hidup Abdullah yang jauh dari cahaya Islam adalah hidup yang kelam dan penuh kegelisahan.
Mendengar syair itu, Abdullah bin al-Za’bari merasa terpanggil untuk kembali. Segera ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyatakan keimanannya dengan penuh penyesalan dan kerendahan hati. Abdullah menyadari bahwa dakwah Rasulullah adalah kebenaran, dan bahwa syair-syairnya di masa lalu hanya menambah beban kesesatan bagi dirinya dan bagi Quraisy yang pernah ia bela dengan gigih. Di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdullah melantunkan syair-syair penyesalan:
Wahai utusan Tuhan, lisanku ini akan memperbaiki
Segala yang telah kuhancurkan saat aku sesat dan aniaya
Di masa ketika aku biasa mengagungkan tipudaya setan
Dan menuntun banyak manusia menuju jalan kesesatan
Di dalam bait-bait syairnya, Abdullah mengakui kesalahannya, menyesali fitnah dan cercaan yang ia lontarkan pada masa jahiliah. Ia menyerahkan dirinya dengan ikhlas kepada Islam, seolah terlahir kembali sebagai Muslim yang bersih dan murni.
Baca juga: Abdullah bin Salam
Dari Lawan Menjadi Penyair Islam
Setelah memeluk Islam, Abdullah bin al-Za’bari menjadikan bakat syairnya sebagai sarana untuk menebus kesalahannya di masa lalu. Kini, syair-syairnya tidak lagi menghujat, tetapi justru memuji kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dakwah Islam. Abdullah bin al-Za’bari adalah contoh nyata dari keagungan Islam sebagai agama yang memaafkan dan memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk bertaubat.
Pengampunan ini juga mencerminkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Penerima Taubat. Syahadat adalah permulaan baru yang dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Dan Abdullah bin al-Za’bari, dengan syahadatnya, menanggalkan seluruh keburukan masa lalu untuk menyongsong cahaya baru.
Baca juga: Abdullah bin Rawahah
Hikmah Kisah Abdullah bin al-Za’bari
Kisah Abdullah bin al-Za’bari adalah pengingat bagi kita semua akan luasnya rahmat Allah. Ia yang pernah begitu keras menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akhirnya tunduk dalam cahaya Islam.
Setelah peristiwa itu, Ibnu al-Za’bari menjalani hidupnya dengan lebih tenang dan damai sebagai seorang Muslim. Abdullah sering menangis ketika mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam, seperti Perang Badar dan Perang Uhud, di mana ia sempat menghunuskan syair-syair cercaan terhadap kaum Muslim.
Perjalanan hidup Abdullah bin al-Za’bari membawa hikmah kepada kita bahwa manusia bisa berubah. Seperti Abdullah yang beralih dari musuh menjadi pengikut setia, setiap Muslim diingatkan untuk tidak cepat menghakimi dan senantiasa mengulurkan tangan bagi mereka yang belum tersentuh hidayah.
Ibnu al-Za’bari membuktikan bahwa hati yang dulunya keras bisa menjadi lembut dengan hidayah Allah. Dan bahwa, bahkan musuh yang paling lantang sekalipun dapat berubah menjadi sahabat yang setia di bawah cahaya Islam.
Kini sejarah mengenanngnya sebagai sosok yang pernah menjadi musuh, namun akhirnya menjadi penyair yang membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Perjuangannya dalam mencari kebenaran dan ketulusannya dalam memperbaiki kesalahan menjadi inspirasi bagi kita untuk selalu berserah diri kepada Allah, bahwa hidayah-Nya akan selalu menghampiri hati yang benar-benar mencari kebenaran. Semoga Allah merahmatinya dan menjadikan kisahnya sebagai pelajaran dan hikmah bagi kita semua. [Kisah Hikmah]