Sejak kecil, Abdullah bin Zubair telah membetot perhatian. Sebab kelahirannya telah mematahkan ancaman orang-orang Yahudi. Ia menjadi bayi pertama muhajirin yang lahir di Madinah.
Abdullah bin Zubair berasal dari keturunan yang mulia dalam suku Quraisy. Ayahnya, Zubair bin al-Awwam, adalah seorang sahabat yang gagah berani dan merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga. Sedangkan ibunya, Asma binti Abu Bakar, adalah seorang wanita tangguh yang memiliki julukan dzátunnithaqain (perempuan dengan dua ikat pinggang) karena keberaniannya dalam mendukung hijrah Nabi.
Bibinya adalah Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah. Sedangkan kakeknya adalah Abu Bakar as Shiddiq, sahabat utama yang kelak menjadi khalifah Rasulullah. Dari pihak ayah, Abdullah juga memiliki garis keturunan yang dekat dengan Rasulullah, karena neneknya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi.
Kelahiran Membawa Keharuan
Kisah kelahiran Abdullah bin Zubair berawal ketika ibunya, Asma, berhijrah ke Madinah dalam keadaan hamil. Beberapa waktu setelah tiba di Madinah, Asma melahirkan seorang putra. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Abdullah.
Rasulullah menyambut kelahiran Abdullah dengan penuh kegembiraan. Beliau mengunyah sebutir kurma dan menempelkannya ke mulut Abdullah yang baru lahir sebagai bagian dari tahnik—salah satu sunnah menyambut bayi yang baru lahir. Dengan demikian, air liur Rasulullah adalah minuman pertama yang masuk ke tubuh Abdullah, sebuah keberkahan dan simbol ikatan cinta antara Rasul dan umatnya.
Kelahiran Abdullah menghapus kerisauan kaum Muslimin yang sebelumnya dipicu oleh ancaman kaum Yahudi di Madinah. Kaum Yahudi mengatakan bahwa mereka telah menyihir kaum Muslimin agar tidak ada lagi anak yang lahir dari mereka.
Namun, Allah mematahkan sihir dan ancaman tersebut melalui kelahiran Abdullah. Kaum Muslimin pun menyambut kelahiran ini dengan gembira, dan perayaan kecil hadir di jalan-jalan kota Madinah menyambut kelahiran Abdullah.
Baca juga: Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah
Parenting Islami, Nuansa Nabawi
Dalam masa pertumbuhannya, Abdullah mendapatkan didikan keras namun penuh kasih dari ayahnya, Zubair bin Awwam. Zubair ingin anaknya menjadi seorang pejuang yang gagah berani. Ia sering mengajak Abdullah dalam berbagai pertempuran. Sejarah mencatat, Abdullah ikut Perang Yarmuk padahal saat itu ia masih anak-anak.
Setelah bercerai dengan Zubair, Asma mendidik Abdullah dengan penuh nilai-nilai kehormatan, ketangguhan, dan keimanan. Asma sangat menekankan agar Abdullah tidak tumbuh menjadi orang yang mudah menyerah. Bagi Asma, Abdullah harus menjadi seorang lelaki yang kuat dalam keyakinan dan teguh pendirian.
Abdullah juga mendapatkan pendidikan dari keluarga Nabi. Ia sangat dekat dengan bibinya Aisyah dan karenanya mendapatkan banyak ilmu darinya. Bahkan, Rasulullah memberikan nama kuniyah Ummu Abdillah untuk Aisyah.
Abdullah tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, tajam analisisnya, sekaligus pemberani di medan perang. Ia juga percaya diri dan memiliki keinginan yang sangat kuat.
Baca juga: Abdullah bin Zaid bin Ashim
Kesungguhan Ibadah
Abdullah bin Zubair juga tumbuh menjadi sosok yang terkenal akan ketekunan dan kekhusyukannya dalam beribadah. Ia menjalankan berbagai sunnah, baik shalat maupun puasa, dengan penuh kesungguhan yang jarang tertandingi.
Begitu khusyuknya Abdullah saat shalat, sehingga burung-burung sering kali hinggap di pundaknya, seakan bertengger di dahan pohon. Abdullah benar-benar memancarkan ketenangan batin yang dalam, dan semangatnya dalam ibadah menjadi teladan bagi banyak orang.
Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala menyebut tiga keunggulan Abdullah bin Zubair: ilmunya sangat dalam, pemberani di medan jihad, dan semangat ibadahnya sangat kuat.
Baca juga: Abdullah bin al-Za’bari
Perjuangan dan Kepemimpinan
Selain ketekunan dalam ibadah, Abdullah bin Zubair juga seorang panglima perang yang pemberani. Ia ikut serta dalam berbagai pertempuran besar, seperti pertempuran di Afrika bersama pasukan Amr bin Ash. Ia juga terlibat dalam Perang Jamal bersama ayahnya melawan Ali bin Abi Thalib, serta ikut berjuang di sisi sahabat lainnya dalam perang yang dikenal sebagai “Abu Bai’ah” melawan Yazid bin Muawiyah. Abdullah memperlihatkan ketangguhan luar biasa dalam membela keyakinannya.
Suatu ketika, Abdullah mengalami pengepungan oleh pasukan al-Hajjaj bin Yusuf di Makkah. Meskipun berada di posisi sulit dan kehilangan banyak pengikut serta keluarganya, Abdullah tetap teguh.
Dalam saat-saat terakhirnya, ibunya, Asma, datang memberikan dorongan. Asma menegaskan bahwa jika Abdullah yakin berada di jalan yang benar, ia harus tetap tabah dan tidak menyerah kepada musuh.
“Isy kariman au mut syahidan,” demikian kata Asma. Dengan motivasi ini, Abdullah kembali bertempur dengan gagah, hingga akhirnya ia gugur di medan perang setelah terkena lontaran batu dari arah Bukit Shafa.
Baca juga: Abdullah bin Umar bin Khattab
Hikmah Kisah Abdullah bin Zubair
Ketika al-Hajjaj datang menemui Asma setelah kematian Abdullah dan menyatakan kebanggaannya atas pembunuhan Abdullah, Asma menjawab dengan penuh keyakinan, “Engkau hanya merusak dunianya, dan ia telah merusak akhiratmu.”
Kalimat ini menggambarkan betapa dalam keyakinan dan keberanian keluarga ini dalam menghadapi ujian hidup. Asma percaya bahwa dunia hanyalah tempat sementara, sedangkan kebahagiaan sejati berada di akhirat.
Abdullah bin al-Zubair adalah teladan bagi setiap Muslim yang berjuang dengan teguh mempertahankan keyakinannya. Kelahiran dan kematiannya, serta pengaruh besar keluarganya dalam kehidupannya, menjadi pelajaran tentang keberanian, kehormatan, dan iman yang kuat kepada Allah. [Kisah Hikmah]