Kemiskinan dekat dengan kekufuran. Demikian kalimat yang amat akrab di telinga kita. Pasalnya, orang miskin bisa menggadaikan akidahnya hanya dengan sebungkus makanan instan atau recehan rupiah.
Karenanya, dalam rangkaianan doa yang disunnahkan untuk dibaca di pagi dan petang hari, ada pinta yang berbunyi, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kekufuran. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur. Tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau.”
Lantas, apakah sebenarnya kemiskinan yang dimaksud? Bukankah kita banyak mendapati sosok-sosok sahabat Nabi yang miskin secara materi? Bahkan ada di antara mereka yang tidak memiliki kain kafan ketika syahid di jalan dakwah? Banyak juga sosok yang justru memiskinkan diri secara materi ketika memimpin sebuah Negara Islam kala itu?
Betulkah bahwa Islam hanya akan mulia di tangan pemeluknya yang banyak harta dan sedekah? Apakah surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu secara ekonomi, banyak asset, memiliki banyak karyawan, dan penghasilannya ratusan juta saban bulannya?
Kemudian, di manakah posisi kaum muslimin yang miskin secara materi? Apakah mereka hanya berhak menjadi warga kelas dua? Di manakah letak kemuliaan kaum muslimin yang miskin secara materi sementara orang muslim yang kaya berhasil mendapat pahala sedekah dan infaq yang amat melimpah?
Suatu hari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tengah menyampaikan nasihat. Diriwayatkan dari Abu Hishbah atau Ibnu Abi Hushain, Imam Ahmad meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Tahukan kalian, siapakah orang yang miskin itu?”
Sahabat pun menjawab, “Ialah mereka yang tidak memiliki harta kekayaan.”
Beliau pun meluruskan jawaban sahabatnya itu, “Orang miskin adalah mereka yang memiliki harta, lalu meninggal dunia, sedangkan ia tidak pernah memberikan sesuatu pun yang bermanfaat dari hartanya itu.”
Jelaslah sudah, Sahabat. Bahwa miskin bukan hanya soal capaian harta duniawi. Miskin adalah milik mereka yang tak miliki tabungan amal kebaikan saat meninggal dunia. Bisa jadi, mereka memiliki banyak rumah, mobil, harta, perusahaan, dan sebagainya. Namun, mereka hanya bermewah-mewahan, bahkan menggunakan kekayaan mereka untuk perbuatan dosa.
Karenanya, kaum muslimin tak pernah risau terkait harta. Sebab, Allah Ta’ala sudah menjamin pembagiannya. Kaum muslimin paham, untuk mendapatkan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat hanya membutuhkan dua hal setelah iman dan takwa; sabar saat berada dalam kemiskinan, dan bersyukur tatkala berada dalam keadaan berlimpah harta.
Dan, dengan yang mana pun di antara keduanya; mereka tak pernah risau untuk menggunakannya. [Pirman]