Dalam kitab Mahabarata tidak terdapat sosok Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Empat tokoh ini merupakan sosok baru dan murni kreasi pewayangan Jawa. Ialah salah satu ijtihad dakwah amat monumental yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dalam ekspedisi dakwah di Nusantara.
Mulanya, Sunan Kalijaga mendapat pertentangan dari sebagian wali lain saat menciptakan empat karakter baru dalam seni pewayangan ini. Kemudian setelah melalui berbagai rangkaian ijtihad dan penjelasan yang panjang, wali lain sepakat dan mendukung apa yang telah dilakukan oleh wali yang merupakan murid Sunan Bonang ini.
Semar merupakan sosok yang menggambarkan keseimbangan, keteguhan, kokoh, tidak mudah diubah. Siapa yang dekat dengan Semar pasti mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Semar merupakan pengasuh utama para Pandhawa. Semar, oleh Sunan Kalijaga, merupakan perlambang dari agama Islam yang tetap, membimbing, dan menentramkan bathin. (Baca: Filosofi Dakwah dalam Sosok Semar)
Setelah Semar ialah Petruk. Badannya lebih kurus. Hidungnya lebih panjang. Dalam pewayangan Sunda, Petruk juga dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Rachmatullah Oky dalam Dari Bilik Kamar menjelaskan bahwa Petruk berasal dari salah satu istilah agung dalam dunia sufi. Fatruk kulla maa siwallah yang bermakna tinggalkanlah semuanya selain Allah.
Petruk memiliki nama lain, kanthong bolong (kantong yang berlubang). Ialah filosofi hidup yang semestinya ditempuh olah setiap kaum Muslimin agar rajin berzakat, infaq, dan sedekah sebagai wujud penyerahan jiwa secara total kepada Allah Ta’ala.
Inilah makna agung tasawuf dan kaum Sufi dalam sosok Petruk. Seharusnya para dai, kiyai, ustadz, atau kaum Muslimin secara umum memahami makna ini sehingga benar-benar menjadi hamba yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, meninggalkan semua bentuk hal-hal duniawi lalu menuju kepada Allah Ta’ala semata.
Meninggalkan seluruhnya lalu bergegas menuju Allah Ta’ala juga bermakna menggunakan seluruh fasilitas dan karunia yang Allah Ta’ala berikan di dunia untuk beribadah kepada-Nya. Ialah kesadaran bahwa dunia adalah keniscayaan yang mustahil dihindari. Maka sebaik-baik jalan ialah mengupayakannya untuk sebesar-besarnya kepentingan akhirat yang abadi.
Jadilah seperti Petruk yang fokusnya hanya Allah Ta’ala dengan meninggalkan semua selain-Nya.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
*Penulis adalah murid di Sekolah Bisnis DKK