Pembagian Bid’ah menurut Imam asy-Syafi’i

0
ilustrasi @yaneyms.blogspot.com

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rahimahullahu Ta’ala, sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’an. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Hal yang paling buruk adalah membuat-buat hal baru (bid’ah). Apa saja yang dijanjikan kepada kalian kelak akan terjadi, sementara kalian tidak mampu mencegahnya.”

Ada sebagian golongan dari kaum Muslimin yang menganggap semua bid’ah sebagai kesesatan. Sebagian golongan kaum Muslimin lainnya berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat. Seperti Imam asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala. Beliau membagi bid’ah menjadi dua hal.

“Bid’ah ada dua macam,” tutur Imam asy-Syafi’i, “(ialah) terpuji dan tercela. Bid’ah yang sejalan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah bid’ah yang terpuji, sementara yang menyimpang dari sunnah adalah bid’ah tercela.”

Sosok bergelar Penolong Sunnah ini menjelaskan, semua bid’ah tercela jika menyelisihi apa yang termaktub di dalam al-Qur’an al-Karim, sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam (perkataan, perbuatan, dan persetujuan), atau ijma’ para ulama’.

Sedangkan hal-hal baru yang bagus dan tidak bertentangan sedikit pun dengan ketiga hal tersebut termasuk bid’ah yang terpuji.

Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam Syarah Risalah al-Mustarsyidin Imam al-Harits al-Muhasibi memberikan empat contoh yang termasuk bid’ah terpuji.

Pertama, kodifikasi hadits. Ialah mengelompokkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam berdasarkan tema agar memudahkan untuk dipelajari dan dipahami.

Di antara yang menentang kodifikasi hadits ini, masih berdasarkan penjelasan Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, adalah sayyidina Umar, Abu Musa al-Asy’ari, dan beberapa sahabat lain, tapi mayoritas sahabat menerimanya.

Kedua, tafsir al-Qur’an. Di antara ulama yang tidak sepakat dengan penafsiran al-Qur’an al-Karim adalam Imam asy-Sya’bi. Namun sebagian besar menerima karena manfaat besar yag terkandung di dalamnya.

Dengan ditafsirkan, kaum Muslimin bisa memahami makna yang terkandung di dalam rujukan utama dalam menjalani kehidupan ini.

Ketiga, penyusunan buku bertemakan fikih yang melibatkan penggunaan logika. Di antara yang tidak sepakat dengan bid’ah ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu Ta’ala.

Keempat, penyusunan buku bertemakan amalan-amalan hati (tasawuf). Banyak ulama yang sepakat, tapi sebagian lainnya berbeda pendapat dengan alasannya masing-masing.

Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaSifat yang Mengantarkan Anda ke Surga
Artikel berikutnya3 Perkara Duniawi yang Dicintai Rasulullah