Kisah Cinta Haji Agus Salim; Dua Kali Menikahi Gadis (2)

0
sumber: Merdeka

Lanjutan dari Kisah Cinta Haji Agus Salim; Dua Kali Menikahi Gadis

Alhamdulillah, di Jeddah itulah Agus Salim kembali menemukan Islam. Ia melakukan taubat nasuha dan rajin menghadiri majlis ulama-ulama Timur Tengah, termasuk berguru langsung kepada pamannya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy yang kala itu menjadi salah satu imam di Masjidil Haram Makkah.

Selama lima tahun bertugas di Jeddah itu pula, Agus Salim amat sibuk dengan tugas kantor dan menghadiri kajian ketika liburan. Bukan main, dua hari dua malam adalah perjalanan yang ditempuhnya dengan unta untuk sampai di Makkah. Terus seperti itu, hingga dirinya divonis sakit parah. Kritis.

Para dokter yang merawatnya pun menyarankan agar ada sosok yang mengurusinya secara intensif. Maka tersebutlah seorang gadis Jeddah bernama Ummudzat Syaferiyah. Cantik. Cekatan. Baik. Perhatian. Piawai melakukan banyak pekerjaan. Agus Salim yang sudah mengenalnya pun meminta dirinya untuk menjadi orang yang merawatnya seraya berharap segera dikaruniai kesembuhan.

Masalahnya, pemerintah Arabi Saudi tidak mengizinkan, kecuali setelah keduanya menikah. Simalakama; harapan sembuh dari sakit dengan perawatan prima, atau mengkhianati pacarnya di kampung halaman. Karenanya, Agus Salim pun meminta pendapat para gurunya. Hingga, didapatilah kesimpulan; Agus Salim harus menikah dengan gadis Jeddah itu.

Keduanya pun menikah. Alhamdulillah, Agus Salim sembuh. Rumah tangga mereka semakin sumringah sebab dikaruniai seorang anak gadis. Meskipun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Hanya dua bulan, anaknya itu meninggal dunia.

Tunai tugas di Jeddah, Agus Salim dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Sayangnya, sang istri menolak diceraikan atau diajak ke Batavia. Sebab, ia masih memiliki banyak urusan yang harus dikelarkan. Dengan bijak, Agus Salim pun mengizinkan permintaan istrinya. Seorang diri, Agus Salim membawa cintanya dalam dekapan menuju tugas berikutnya di Batavia.

Setahun di Batavia, tunai sudah angka enam tahun perantauannya meninggalkan Zainatun Nahar di kampung halaman. Maka setelah mendapatkan izin cuti, ia bergegas untuk menunaikan janji. Setibanya di rumah, sang ayah pun menanayakan kabar pernikahan Agus Salim dengan gadis Jeddah. Hanya mengangguk, sang ayah justru menampakkan ekspresi sedikit kecewa.

Ternyata, “Aku sudah menjodohkanmu dengan kakaknya Zainatun Nahar.” Sontak saja, kabar itu bagai petir bagi Agus Salim. Sebab yang berhasil menyandera hatinya adalah Zainatun nahar, bukan kakaknya. Namun, “Karena kelamaan, maka kakaknya Zainatun Nahar pun dinikahkan dengan lelaki lain.” Alhamdulillah, demikian itu bisik hati Agus Salim yang kala itu usianya sekitar dua puluh tujuh tahun.

Dalam kesempatan itu pula, Agus Salim menyampaikan perasaannya. Sang ayah kaget. Sebab, anaknya itu berhasil menutupi rahasia penting terkait dirinya dalam kurun waktu yang amat lama. Tetapi, tunai mendengarkan kisah anaknya, lelaki yang menjabat sebagai jaksa tinggi di salah satu pengadilan tinggi Pemerintah Hindia Belanda kala itu langsung sepakat dan mengajukan diri untuk melamarkan Zainatun Nahar untuknya.

Di sini, timbul masalah baru. Agus Salim kembali menghadapi dilema; mungkinkah Zainatun Nahar masih menerima cintanya? Sementara saat itu dirinya masih menjadi suami wanita lain. Dalam kata lain, Zainatun Nahar akan menjadi istri kedua. Padahal, keduanya saling mencintai untuk pertama kali.

Tak mau lama-lama dalam dilema dan perang perasaannya, Agus Salim pun langsung menuju rumah Zainatun Nahar untuk menyampaikan maksudnya.

Benarlah, setelah mendengar kisah dari Agus Salim, Zainatun Nahar sempat marah-marah khas gadis. Hingga, kata-kata ‘pengkhianat’, ‘dasar laki-laki’, dan yang sejenisnya pun meluncur deras, dialamatkan kepada Agus Salim. Beruntung, sebab ketulusan Agus Salim dan Zainatun Nahar, akhirnya keduanya pun benar-benar menikah.

Lalu, episode kesedihan yang mengharu-biru sempat mampir ke dalam rumah tangga keduanya ketika Ummudzat Syaferiyah mencari Agus Salim. Istri pertamanya itu bahagia sebab ada wanita lain yang mau menjadi istri kedua bagi suaminya, sedangkan Zainatun Nahar dengan kebesaran hatinya meminta istri pertama suaminya itu untuk tinggal bersama menjalin kehidupan poligami.

Sayangnya, Ummudzat Syaferiyah menolak dan memilih kembali ke Jeddah. Setelah itu, Agus Salim dan Zainatun Nahar pun menjalani kehidupan penuh perjuangan dalam proses panjang memerdekakan Indonesia dari penjajah dengan upaya sungguh-sungguh menegakkan syariat Islam di berbagai lini kehidupan.

Kini, Haji Agus Salim telah tiada. Tapi, karya besarnya untuk Islam dan Indonesia akan senantiasa dikenang. Kami rindu padanya, sebab hingga kini belum ditemukan satu pun sosok yang mampu menggantikannya. Semoga, generasi itu kelak kembali hadir; kita, anak-anak, atau cucu-cucu kita. Aamiin. [Kisahikmah/Pirman]

Rujukan: Cahaya dari Koto Gadang, Haidar Musyafa, 2015.

Artikel sebelumnyaKisah Cinta Haji Agus Salim; Dua Kali Menikahi Gadis
Artikel berikutnyaEmpat Tingkatan Dzikir Menurut Imam al-Ghazali