Tiada yang bisa menjelaskan cinta selain kata itu sendiri. Banyaknya definisi hanya semakin menjelaskan kepada kita akan makna kata itu, namun semua penjelas bukanlah makna sejatinya. Ia khas, unik dan tak mudah tuk disamakan dengan kata lainnya.
Pun, dengan alasan untuk mencintai. Banyak faktor, sebab dan pengaruhnya. Ibnul Qayyim menyebutkan hal ini dengan adanya kecocokan. Maka, jangan heran saat melihat laki-laki tampan dan kaya raya yang menikah dengan perempuan hitam, gemuk dan tidak cantik. Atau, saat ada perempuan cantik, santun, baik hati, lembut dan punya wibawa yang menikah dengan pemuda kecil, kurus dan sama sekali tidak tampan.
Barangkali, inilah yang terjadi pada diri Ibnu Hazm. Beliau adalah salah satu Imam terbesar dalam mazhab Zhahiriyah, penulis puluhan buku legendaris dalam ilmu fiqih, hadits, sejarah, puisi dan lainnya. Selain itu, beliau adalah lelaki yang tampan, lembut dan pecinta sejati. Selanjutnya, ia merupakan anak salah satu menteri di Cordova kala itu.
Andai melihat profilnya sekilas saja, adakah alasan bagi seorang wanita untuk menolak cintanya? Jika kedudukan dan keilmuan sang wanita lebih segala-galanya dari Ibu Hazm, mungkin saja alasannya bisa dibenarkan. Namun, apa daya? Dalam sejarah cinta sang Imam ini, beliau pernah ditolak. Bukan oleh wanita terhormat, melainkan salah satu pembantu di rumahnyalah yang menolak cinta lelaki tampan dan lembut itu.
Mari sejenak menyimak penuturannya, “Kadang-kadang saya masuk melalui sebuah pintu agar bisa berdekat-dekatan dengannya,” ujarnya. “Namun,” kilahnya, “saat mengetahui keberadaanku,” lanjutnya, “gadis itu langsung pergi menjauh dengan sopan dan tenang.” Tragis. Sebab, “Saat kukejar ke tempat kaburnya,” katanya, “ia pasti menghindar kabur ke tempat lain.” Duh!
Tentu saja, bukan tanpa alasan Ibnu Hazm mencintai gadis sederhana ini. Apalagi di istana itu terdapat banyak pembantu wanita. Katanya menyebutkan, “Perempuan itu mengetahui bahwa aku mencintainya.” Sayang, cinta sang Imam tak berbalas. Beruntunglah mereka berilmu sehingga tak melakukan dosa.
Hingga suatu hari, saat cintanya semakin bertambah, terlihatlah gadis yang dicintainya itu sedang menari di istananya. Mendengar nyanyiannya, ia hanya berkata lirih sepenuh hati, “Oh, nyanyian itu seakan turun ke hatiku.” Dan ia berkata, “Tak mungkin kulupakan kejadian ini,” romantisnya.
Sayangnya, sayangnya, sayangnya. Cinta itu tak bersambut. Dan, kita sama sekali tak pernah mendengar pengakuan sang gadis. Hanya menerka, barangkali ada frekuensi hati yang berbeda. Ada perbedaan yang sama sekali tak kuasa menyatu dan mustahil dijelaskan dengan kata-kata sebanyak dan sepuitis apa pun. [Pirman]