Kita harus banyak membaca banyak biografi ulama-ulama besar agar bisa meneladani kehidupan mereka. Merekalah orang-orang pilihan dengan kualitas hidup terbaik. Mereka telah berkomitmen untuk mempersembahkan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ada di antara mereka yang sibuk menulis kitab. Hingga dalam usianya yang hanya berbilang empat hingga lima puluh tahun, misalnya, mereka berhasil menulis ratusan kitab yang jumlah halaman perkitabnya ribuan lembar.
Meski demikian sibuk dengan menulis, mereka masih sempat mengajar di masjid dan berbagai majlis ilmu, kemudian masih bisa membaca al-Qur’an puluhan juz saban harinya.
Dalam penghayatan terhadap ajaran-ajaran Islam yang dijabarkan dalam Kalam Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah yang mulia, mereka juga menduduki peringkat pertama sehingga susah didapati tandingannya hingga akhir zaman.
Sebut saja misalnya seorang ulama besar yang langsung menangis bahkan pingsan ketika lampu mati tertiup angin pada masanya dulu. Saat sadarkan diri dan ditanya penyebabnya, dengan air mata yang masih meleleh di pipinya ia menjawab, “Aku menangis karena teringat gelapnya kubur.”
Sahabatku, itulah mereka. Generasi terbaik umat ini. Mereka adalah kumpulan orang-orang shaleh yang kisahnya tak kan dilupakan oleh zaman. Meski jasadnya telah berkalang tanah, nama dan amal mereka akan senantiasa harum dibincangkan generasi selepasanya.
Selain itu, ada banyak nama lain yang luar biasa dalam menghayati amalan-amalan akhiratnya. Sebagai tambahan, mari renungi apa yang terjadi pada sosok Sufyan ats-Tsauri.
Suatu hari, Sufyan menangis tersedu-sedu. Bukan dalam hitungan menit, Sufyan menangis semalam suntuk. Sebuah kejadian aneh, sementara sahabat dan muridnya tak mendapati kejadian apa pun di hari itu.
Pagi harinya, guna mengobati penasaran dan keingintahuan yang mendalam, salah satu sahabatnya bertanya, “Apakah engkau menangis karena takut dosa?”
Seperti telah siapkan jawaban, Sufyan menjawab, “Dosa lebih ringan dari apa yang aku rasakan.”
Ketika yang bertanya belum selesai mencerna jawaban yang ia berikan, Sufyan melanjutkan, “Aku menangis,” ujarnya sambil terbata, “karena takut jika mati dalam keadaan Su’ul Khatimah.”
Itulah pendahulu-pedahulu kita dalam keimanan. Mereka hidup di dunia, tapi seperti sudah menyaksikan kehidupan akhirat. Meski fisiknya masih beramal di muka bumi, orientasi mereka adalah kehidupan setelah mati.
Mereka beraktivitas seperti manusia umumnya, tapi seakan-akan, bau surga telah mereka rasakan; dekat nan melekat. [Pirman]