Dengan pongah, Penguasa ini memerintahkan semua ulama di Syam untuk mengeluarkan fatwa agar seluruh masyarakat muslim mengumpulkan hartanya guna membeli senjata. Namun, Imam Nawawi yang masyhur keshalehan dan sifat waraknya menolak.
Sebab Imam Nawawi merupakan ulama paling berpengaruh ketika itu, Penguasa ini pun mendatanginya dengan bekal kesombongan. Tanpa perhatikan akhlaknya kepada ulama, ia langsung menghardik seketika setelah bertemu, “Mengapa engkau tidak mau memberikan fatwa supaya kaum muslimin mengumpulkan harta untuk membeli senjata?”
Katanya berdalih, “Saya hendak menyingkirkan musuh-musuh Allah dan menjaga wilayah kaum muslimin.”
Lantas, mengapa Imam Nawawi menolak untuk memberikan fatwa? Padahal Penguasa itu beralasan akan menjaga wilayah kaum muslimin dengan senjata yang dibeli tersebut? Rupanya, Imam yang menulis ratusan kitab ini bisa mengetahui maksud tersembunyi di balik perkataan Penguasa Syam tersebut.
“Sungguh”, ucap Imam Nawawi, “Dahulu kamu datang ke negeri kami sebagai hamba sahaya yang tidak memiliki apa pun.” Kemudian, lanjut sosok yang kitabnya masyhur dan menjadi rujukan ratusan juta kaum muslimin di sepanjang sejarah ini, “Di sekelilingmu saat ini, saya melihat banyak pelayan laki-laki dan perempuan serta istana-istana, dan ladang yang luas.”
“Padahal”, terang alim yang menulis kitab hadits Arba’in ini, “Semua itu bukan hartamu.” Beliau pun menyampaikan syarat, jika ini dipenuhi, maka beliau bersedia mengeluarkan fatwa. “Jika semua itu kau jual untuk membeli senjata, lalu sesudah itu masih membutuhkan lagi”, maka, lanjut sang Imam, “Aku akan memberi fatwa supaya kaum muslimin mengumpulkan harta untuk membeli senjata.”
Mendengar hujjah sang Imam, Penguasa itu pun marah. Ia membentak sang Imam dan memerintahkannya untuk keluar dari negeri Syam. Ia mencampakkan ulama yang dekat dengan Rabbnya.
Rupanya, setelah sang Imam keluar Syam, para ulama mendatangi Penguasa tersebut sebab mereka mengaku tak bisa melakukan atau memutuskan hukum apa pun tanpa petunjuk dari Imam Nawawi. Karena itu pula, Penguasa itu mengirimkan utusan kepada sang Imam, agar beliau mau kembali ke Syam.
Dengan keteguhan yang dihasilkan dari sikap menjaga dirinya itu, Imam Nawawi menolak untuk kembali. Katanya tegas, “Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan memasuki negeri Syam selama ia masih di sana.”
Hanya ulama-ulama Rabbani-lah yang mampu bersikap seteguh itu. Mereka tidak takut dengan ancaman pedang atau tergiur dengan iming-iming harta dan wanita. Mereka bersikap teguh sebagaimana keyakinannya kepada Allah Ta’ala.
Maka, tulis Dr Abdullah Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyah, “Tak lama setelah itu, sesudah Imam Nawawi mengucapkan sumpahnya, Penguasa itu mati.” Sehingga, Imam Nawawi pun kembali ke negeri Syam.
Penguasa Syam yang dengan berani membentak, mengitimidasi dan mengusir Imam Nawawi adalah Zahir Baibars. [Pirman]