Derita Pemuda Paling Tampan di Madinah yang Ditolak Cintanya

0
ilustrasi @caracol
ilustrasi @caracol
ilustrasi @caracol

Betapa tersayatnya hati ketika cinta suci kita tertolak. Betapa sakitnya nurani saat bunga rindu tak bersatu dalam getar yang serupa. Tapi begitulah hidup, tak semuanya menyatu. Ada yang digabungkan, tak jarang pula yang harus berpisah karena satu dan lain hal.

Malangnya pemuda ini. Nashr bin Hajjaj namanya. Sosok gagah, semampai dan bergelar pemuda paling tampan di kota Madinah. Bukan main, fisiknya adalah ujian yang berujung pada fitnah.

Pasalnya, pada suatu malam, Umar bin Khaththab yang terbiasa melakukan kunjungan tanpa kawalan mendengar rintihan salah satu rakyatnya. Umar mendengar seorang wanita yang tengah melantunkan syair cinta penuh rindu. Dalam syair tak halalnya itu, tersebutlah nama sang pemuda tampan nan rupawan itu.

Sebab menikahkan tak memungkinkan karena berbagai sebab, guna menghalau fitnah dari Ibu Kota tempat ia memimpin, Umar memutuskan untuk mengasingkan sang pemuda ke kota Basra. Harapannya, di kota itu sang pemuda bisa lebih aman dan mendapat banyak kebaikan.

Nyatanya, kejadiannya berkebalikan. Di kota barunya, pemuda itu bekerja di rumah seorang majikan. Terkisah, istri sang majikan adalah wanita cantik dan baik budinya. Aduh, ujiannya makin berat. Sang pemuda menaruh hati pada istri majikannya itu. Malangnya lagi, cinta sang pemuda bagai gayung bersambut. Sebab ketampanan dan bagusnya pekerjaan sang pemuda, istri sang majikan pun menyambut kasih pemuda pelayan suaminya itu. Keduanya saling dimabuk cinta.

Hari berlalu, bulan berjalan. Hingga tibalah mereka berada dalam keadaan bertiga. Suami, istri dan pemuda pembantunya. Sebab rindu dan cinta yang tak tertahan, sang pemuda yang mengetahui bahwa majikannya tak bisa membaca dan menulis itu, menuliskan sebuah kalimat di tanah tempat mereka bertiga bersama.

Sang istri yang mampu membaca kalimat itu, hanya tersenyum, tersipu, malu-malu. Bahagia yang dirasanya. Sebab, cinta keduanya berada dalam getaran yang sama.

Melihat keanehan keduanya, sang suami pun berinisiaif memanggil saudaranya yang bisa membaca dan menulis. Sesampainya di tempat itu, saudara sang majikan terhenyak. Dengan berat hati, disampaikanlah kepada saudaranya bahwa tulisan pemuda itu berbunyi “Aku Cinta Padamu”.

Betapa kesalnya sang majikan, mukanya merah bata, keringatnya mulai bermunculan, dan jantung semakin kencang detaknya. Alhasil, diusirlah sang pemuda. Menerima kenyataan cintanya kandas, pemuda malang itu pergi entah ke mana. Beruntunglah, sang istri segera menyadari kelirunya dan berkomitmen untuk kembali merajut cinta bersama sang suami.

Bulan berbilang, hari berlalu seperti biasanya. Hingga tibalah kabar duka, pemuda itu sakit. Di sebuah tempat, tanpa ada yang mengurusi. Rupanya, penyebab sakitnya adalah putus cintanya kepada istri sang majikan.

Beruntung, sang suami mengizinkan istrinya untuk menjenguk pemuda itu. Namun, sakitnya makin parah. Tepat beberapa hari setelah kunjungan sang istri majikan, pemuda itu meninggal.

Sedih. Perih. Pedih. Duka. Lara. Nestapa. Apa yang dirasa jika pemuda itu adalah saya, anda atau kita semuanya? Semoga, bukan itu yang terjadi. Karena cinta jenis ini, ketika tak ada sentuhan fisik selepas menikah, harus segera dihilangkan dari kehidupan masing-masing kita.

Kisah ini adalah salah satu hikmah mengapa semua jalan menuju pernikahan harus dimudahkan. Sebab karenanya, cinta yang suci bisa mewujud dalam kebaikan nan berpahala.

Duhai pemuda tertampan di kota Nabi,
Kisahmu menyadarkan kami,
Bahwa cinta harus dijaga
Agar ia tetap suci,
Hingga pelaminan mempertemukan kami
[Pirman]

Artikel sebelumnyaTangis Pilu Seorang Istri yang Ditinggal Suaminya Berjihad
Artikel berikutnya“Ya Allah, Sembuhkanlah Ibuku. Atau, Mudahkanlah Ajalnya,”