Mari berhenti sejenak dari gegap gempita dunia yang memekakan telinga dan seringkali menghilangkan kewarasan. Mari melihat kehidupan orang-orang shalih, pendahulu umat ini, yang telah menjalani hidup dengan gemilang hingga menghadap Allah Ta’ala dengan senyum yang senantiasa mengembang.
Mari sedikit berkenalan kepada sosok laki-laki yang disebut oleh salah satu Sulthan yang banyak melakukan penaklukan negeri-negeri menjadi negeri kaum Muslimin sebagai sosok yang satu jarinya lebih disukai dari seratus ribu pedang yang terhunus.
Siapakah sebenarnya laki-laki yang amat mengagumkan ini?
Terkait laki-laki surgawi ini, Imam Ja’far bin Sulaiman Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Saat hatiku terasa keras, aku segera pergi melihat wajahnya. Begitu menyaksikan rona mukanya, aku langsung menangis seperti orang yang ditinggal mati oleh anakku.”
Seorang ahli hadits senior, Imam Sulaiman bin Bilal at-Tamimi, turut mengomentari laki-laki yang wafat pada tahun 123 Hijriyah ini dengan mengatakan, “Tidak seorang pun yang lebih kusukai untuk bertemu dengan Allah Ta’ala seraya membawa amal yang sama dengannya selain Muhammad bin Wasi’.”
Inilah laki-laki yang kita bincangkan kali ini. Ialah Imam Muhammad bin Wasi’ Rahimahullahu Ta’ala, seorang ahli zuhud, ‘alim, tabi’in mulia, dan merupakan murid utama Imam Hasan al-Bashri Rahimahullahu Ta’ala.
Selain ahli ibadah dan ahli ilmu, Imam Muhammad bin Wasi’ Rahimahullahu Ta’ala juga merupakan tentara yang senantiasa bersiap siaga di medan jihad, untuk mempertahankan tegak tingginya kalimat Allah Ta’ala di muka bumi ini.
Sebagai bukti bahwa Imam Muhammad bin Wasi’ merupakan tentara sejati bisa kita lihat dari kejadian yang dialami oleh Sulthan Qutaibah bin Muslim. Saat sibuk mempersiapkan tentara, sang Sulthan justru bertanya, “Dimanakah Muhammad bin Wasi’?”
“Dia sedang berada di lembah Maimanah sambil meregangkan busur panah ke arah langit dengan jarinya.” jawab seseorang.
Lantas sang Sulthan berkata, “Satu jari itulah yang lebih aku sukai daripada seratus ribu pedang yang terhunus tajam atau (seratus ribu) mata tombak yang bergerigi tajam.”
Hal itu tidak lain karena kepiawaiannya dalam menggunakan senjata di medan jihad sekaligus kualitas keimanan dan ketaqwaan sang Imam hingga kehadirannya bisa menjadi penyemangat bagi pasukan lain, sekaligus menjadi sarana datangnya malaikat untuk menolong pasukan kaum Muslimin.
Hendaknya kita merenung sembari mengulang-ulang pertanyaan, “Kira-kira, berapakah nilai jari kita di medan jihad?”
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]