Di perbatasan Iskandaria Mesir, seorang alim bernama Abdullah bin Wahab al-Qurasyi al-Mishri yang merupakan murid Imam Malik bin Anas, Imam al-Laits, Imam ats-Tsauri dan lainnya tengah melakukan ribath, berjaga-jaga di jalan Allah Ta’ala.
Saat kaum Muslimin memintanya untuk berhenti sejenak mengajari mereka, Imam Abdullah bin Wahab menolak sembari berujar, “Inilah tempat ibadahku.”
Sang alim yang zuhud ini lalu memasuki tempat ibadahnya sembari berjaga-jaga di jalan Allah Ta’ala. Setiap kali diminta untuk mengajar, beliau selalu menukasi dan menyampaikan kalimat serupa.
Dua hari setelah itu, sebagaimana dikisahkan oleh sepupunya yang dikutip oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah saat menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin Imam al-Harits al-Muhasibi, datanglah seorang laki-laki yang menuturkan mimpinya tentang Imam Abdullah bin Wahab. Selepas mendengar mimpi tersebut, sang imam menangis dan mengubah sikapnya selama ini.
Laki-laki anonim itu, dalam mimpinya, melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam di sebuah masjid yang terlihat seperti Masjidil Haram. Di sebelah kanan beliau ada sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, di sebelah kirinya sayyidina Umar bin Khaththab, dan Imam Abdullah bin Wahab di tengah-tengahnya.
Di tengah masjid terdapat lilin-lilin yang menyala dengan indah. Menerangi dan menyejukkan pandangan mata siapa yang menatapnya.
Setiap kali lilin-lilin itu mati, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam berkata kepada imam Abdullah bin Wahab, “Wahai Abdullah, nyalakan lilin-lilin itu.”
Dalam beberapa hari, Imam Abdullah bin Wahab senantiasa melakukan hal itu. Terus-menerus. Sampai suatu ketika, lilin itu mati, tapi Imam Abdullah bin Wahab mendiamkannya. Seketika itu juga, sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau melihat lilin-lilin (redup) itu?”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjawab, “Ini karena ulah si Abdullah. Dia ingin mematikannya.”
Kelar mendengar kisah tersebut, Abdullah bin Wahab menangis. Tersedu-sedu. Sang penutur kisah pun merasa bersedih, lalu berkata, “Sungguh, aku hanya ingin menghiburmu dengan mengisahkan mimpi ini. Jika ternyata malah membuatmu sedih, aku tidak akan menuturkannya.”
“Tidak apa-apa,” jawab Imam Abdullah bin Wahab sembari menahan tangisnya, “aku merasa dinasihati dengan mimpimu. Sebelumnya, aku menganggap ibadah (sunnah) lebih utama daripada mengajarkan ilmu, (padahal mengajarkan ilmu lebih mulia daripada ibadah sunnah.”
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]