Pertama kali melihat sosok Atha’ bin Abi Rabah, ‘Utsman bin Atha’ al-Khurasani berkata, “Betapa menyedihkannya lelaki ini, Ayah?”
Maka sang ayah pun marah dan menghardik anaknya yang tidak tahu itu, “Diamlah! Beliau adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz, Atha’ bin Abi Rabah.”
‘Utsman bin Atha’ al-Khurasani menggunakan kata menyedihkan dalam pertanyaan di atas bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, penampilan Imam Atha’ bin Abi Rabah memang jauh dari kesan kemuliaan dalam pandangan manusia pada umumnya.
“Tiba-tiba, terlihat seorang tua yang bungkuk dan berkulit hitam,” tutur Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan mengisahkan pertemuan tiga orang shalih ini. Lanjut Salim yang murah senyum ini, “(Dia) duduk di atas keledai kurus tanpa pelana dengan menggunakan baju yang jelek dan kasar jahitannya, serta lusuh dan bersurban.” “Sungguh,” ujar Salim memungkasi, “ia terlihat bagaikan seekor burung gagak yang nestapa.”
Akan tetapi, ketika sampai di gerbang istana Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, Imam Atha’ bin Rabah disambut bak tamu terhormat dari kerajaan digdaya. Disambut langsung oleh Sang Khalifah, didudukkan di tempat yang mulia bersama pembesar-pembesar yang tengah berkumpul, bahkan Khalifah menundukkan dirinya seraya menempelkan lututnya dengan lutut Imam Atha’.
“Mohon,” kata Khalifah Hisyam penuh tunduk, “sampaikan keperluan yang telah membuatmu jauh-jauh datang, wahai Abu Muhammad!”
Imam Atha’ pun mengawali nasihatnya agar Khalifah Hisyam memenuhi seluruh hak penduduk Makkah dan Madinah. Sebab, mereka yang berada di dua kota suci tersebut merupakan tamu Allah Ta’ala dan tetangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Beliau juga mengingatkan agar Khalifah Hisyam membagikan kelebihan sedekah kepada penduduk Najd dan Hijaz, memperhatikan keluarga Mujahid yang berada di perbatasan mempertahankan negeri kaum Muslimin, serta tidak menzhalimi orang-orang kafir dzimmi sebab mereka adalah amanah dari Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Setiap selesai mendengar nasihat Imam Atha’, Khalifah Hisyam hanya menunduk penuh hormat, membenarkan, lalu memerintahkan kepada Wazir untuk menuliskan perintah kepada seluruh stafnya agar melaksanakan nasihat Imam Atha’ tersebut.
Di akhir nasihatnya, Imam Atha’ bin Abi Rabah mengatakan, “Bertaqwalah kepada Allah di dalam dirimu, wahai Amirul Mukminin.” Lanjutnya dengan gagah yang disambut tangis pilu Sang Khalifah, “Engkau dilahirkan dalam keadaan sendirian, kelak mati dengan sendirian, dibangkitkan, dan dihisab dalam keadaan seorang diri pula.”
“Demi Allah,” kata Imam Atha’, “tak seorang pun yang kaulihat ini (di sini, di kerajaanmu) akan bersamamu. Dan tak satu pun dari mereka yang kuasa menjadi pembela bagimu.”
Tatkala Sang Khalifah masih tunduk dalam tangisnya itu, Imam Atha’ berlalu tanpa beban. Kemudian datanglah utusan Khalifah yang menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Akan tetapi, Imam Atha’ menolaknya dan membaca ayat, “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Sungguh, balasan untukku tiada lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” (Qs. asy-Syu’ara [26]: 109)
Lebih menakjubkan lagi, tutur ‘Utsman bin Atha’ al-Khurasani sebagaimana dikutip oleh Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan, “Sesungguhnya dia telah menemui Khalifah, menyuruhnya memenuhi hajat kaum Muslimin hingga Ahludz Dzimmah, membuatnya menangis, dan keluar dari istananya tanpa meminum setets air pun.”
La haula wa la quwwata illa billah. [Pirman/Kisahikmah]