Sang Khalifah baru kelar mengurus pemakaman pendahulunya, Sulaiman bin ‘Abdul Malik. Sebab kelelahan menunaikan amanah itu sejak semalam, ia pun berniat merebahkan tubuhnya, sejenak meluruskan punggungnya. Hanya sejenak, demikian itu niatnya.
“Ayahanda,” ujar anaknya yang baru berumur tujuh belas tahun, “apa yang hendak Ayah lakukan?” sebuah tanya lugas. Dijawab santai oleh sang Ayah, “Aku hendak rehat sejenak, Anakku.” Sang Ayah benar-benar kelelahan.
“Apakah Ayah hendak menunda urusan orang-orang yang menunggu sejak semalam agar haknya yang terampas segera dikembalikan?” tegas sang Anak. Lanjutnya dengan tanya retoris kedua, “Apakah Ayah hendak menunda urusan keluarga yang terzalimi agar segera dipulangkan ke rumahnya?” Dan, pungkasnya santun, “Apakah Ayah akan menunda harapan kaum Muslimin yang mengharapkan Amirul Mukminin yang baru berlaku adil kepada mereka?”
Mungkin, jika Ayah dalam kisah itu adalah kita, bisa jadi respon kita adalah membentak. Apalagi, usia sang anak baru tujuh belas tahun. Apalagi, sang Ayah adalah seorang kepala negara. Namun, Ayah ini tidak berlaku demikian. Kepada anak saleh yang telah mengingatkannya itu, sang Ayah sampaikan jawaban, “Hanya sejenak, Nak. Insya Allah, selepas Zhuhur akan Ayah tunaikan semua amanah itu.”
“Dan,” sang Anak sampaikan pertanyaan lagi, “siapakah yang menjamin umur Ayah akan sampai waktu Zhuhur?”
Itulah anak-anak yang membuat ayahnya bangga. Ia mengingatkan kemestian hidup. Ia ingatkan ayahnya akan kepastian mati dan akhirat yang selamanya. Ia tak segan atau malu-malu. Mereka melakukan itu atas nama cinta kepada sosok yang telah mendidiknya.
Atas tanya sang Anak, sang Ayah pun bergegas. Ia urung merebahkan punggung. Ia segera tunaikan amanah. Bukan pesta pora setelah dilantik. Katanya sebagaimana dikisahkan Salim A. Filah dalam Lapis-lapis Keberkahan, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan kepadaku seorang putra yang menguatkanku di dalam agama-Nya.”
Kisah ini, bagi sebagian kita, mungkin tak asing lagi. Sang ayah adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan anaknya adalah ‘Abdil Malik bin ‘Umar. Tapi, kisah-kisah ini harus senantiasa kita ingat dan sampaikan di zaman ini. Setidaknya sebagai sebuah harapan akan hadirnya anak-anak penyejuk jiwa yang senantiasa bertanya lembut kepada ayahnya, “Ayah sudah shalat?” saat ia baru pulang sekolah atau kuliah, atau seorang putra yang sudah rapi dengan sarung dan pecinya, kemudian meraih lembut tangan ayahnya, “Yah, ke masjid yuk. Sudah mau Maghrib.”
Rabbi hablanaa minash-shaalihiin. Aamiin. [Pirman]