Mari sejenak melupakan kesan negatif tentang poligami. Bahwa ada masalah dalam keluarga poligami itu pasti, sebagaimana masalah yang terjadi dalam keluarga monogami. Sebab memang, keseluruhan hidup adalah masalah yang harus diselesaikan dengan baik sebagaimana ketentuan Islam.
Banyak yang memandang poligami secara zalim. Bentuknya bisa dengan menggeneralisir bahwa semua poligami sama bermasalahnya. Padahal, dalam parade kehidupan Rabbani keluarga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama istri-istrinya dijumpai sebuah suasana yang harmoni, romantis, damai, akur, dan minim konflik.
Suasana nyaman nan menenteramkan ini tidak hanya berlangsung saat Nabi ada di tengah-tengah para istri, tetapi berlanjut sepeninggal Nabi hingga masing-masing istri salehah yang merupakan Ibunda Kaum Mukminin itu dipanggil oleh Allah Ta’ala.
Menjelang ajalnya, Ummu Habibah memanggil Ummu ‘Aisyah binti Abu Bakar. Sebagai sesama madu, keduanya saling merasa memiliki salah dan harus meminta maaf. Kata Ummu Habibah, “Telah terjadi di antara kita apa yang yang dialami oleh istri-istri yang dimadu. Semoga Allah Ta’ala mengampuniku dan dirimu atas apa yang terjadi di antara kita.”
Betapa mulia, lembut, dan romantisnya kalimat ini? Padahal, secara usia, Ummu Habibah lebih berumur dibanding Ummu ‘Aisyah. Tapi keluhuran budi pekerti telah mendorong beliau untuk lebih dulu menyampaikan permintaan maaf dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.
Ummu ‘Aisyah pun membalas, “Semoga Allah Ta’ala mengampunimu semuanya, memaafkan, dan menghalalkan semua itu.”
Duhai, inilah balasan terbaik, santun, penuh hormat, dan sarat cinta. Sebagai yang lebih muda, Ummu ‘Aisyah sangat mengerti kadar dirinya. Terlihat dari kalimat jawabannya, beliau memanjatkan doa yang lebih baik, dan lebih lengkap dari doa Ummu Habibah.
Di akhir dialog, Ummu Habibah menyampaikan kesan mendalam kepada istri Nabi yang paling muda ini, “Kamu telah membuatku senang. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesenangan kepadamu.”
Demikian inilah balasan atas kebaikan. Ia hanya akan dibalas dengan kebaikan serupa atau lebih bagus lagi.
Selanjutnya, tutur Ummu ‘Aisyah sebagaimana dikutip Dr. Thal’at Muhammad ‘Afifi Salim dari Shifatu Shafwah, “Aku pun mengucapkan hal yang sama kepada Ummu Salamah dan dia berkata seperti yang dikatakan Ummu Habibah.”
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan keberkahan dan ridha-Nya kepada Ibunda Kaum Mukminin yang telah sampaikan teladan terbaik kepada kita semua. Adakah diri mau meneladaninya? Atau berkelit dengan banyak dalih yang tak logis? [Pirman]