Wahai para pencari jalan menuju Allah Ta’ala, pahamilah tabiat nurani, akal, dan dirimu. Dengannya, kalian akan menemukan jalan yang paling tepat untuk mengenal Allah Ta’ala. Sebaliknya, jika engkau luput memahami diri, keterjerumusan sudah pasti menjadi akhir kehidupan yang kau dapati.
Tidaklah seseorang selamat, kecuali lantaran ilmu yang mampu mencegahnya dari perbuatan yang menjerumuskannya menuju kebinasaan. Ketahuilah, ada tiga ciri akal yang tidak tunduk pada syahwat. Jika tiga ciri ini tidak dimilki oleh seseorang, maka ia termasuk pribadi yang tunduk dan menghamba pada hawa nafsunya.
“Ketahuilah,” tutur Imam al-Harits al-Muhassibi, “segala hal yang tidak mengandung tiga hal ini adalah akal yang lemah.”
Menjelaskan makna ‘akal yang lemah’, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah mengatakan, “Akal yang lemah adalah akal yang tunduk pada keinginan hawa nafsu (syahwat).”
Utamakan Taat daripada Maksiat
Dua hal ini saling berkebalikan. Tidaklah seorang hamba melakukan ketaatan, kecuali dia menghindar dan jauh dari maksiat. Amat mustahil seorang hamba berada dalam taat jika kebiasaannya adalah melakukan perbuatan sia-sia, dosa, dan maksiat.
Orang yang menyelisihi nafsunya, ia akan senantiasa bergegas dalam ketaatan. Dengan kesibukan di jalan taat itu, melirik maksiat pun tak sempat, apalagi terjun dan aktif di dalamnya.
Prioritaskan Ilmu daripada Kebodohan
Ilmu sejati bukan sekadar pengetahuan. Ialah sesuatu yang membuat seorang hamba semakin takut kepada Allah Ta’ala. Itulah sejatinya ilmu, yang membuat seorang hamba disebut oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya sebagai ulama. Jadi, gelaran ulama bukan pemberian manusia, tapi disematkan oleh Allah Ta’ala melalui Kalam Suci-Nya.
Ilmu akan membimbing pemilkinya agar senantiasa berada di dalam jalur syar’i yang Allah Ta’ala gariskan. Ia akan menghindar dari segala makna kebodohan, sebab hal itu akan menjerumuskan seorang hamba menuju sengsara dan nestapa, di dunia dan akhirat.
Dahulukan Akhirat daripada Dunia
Para penghamba nafsu akan senantiasa menghajatkan dunia. Pikiran dan imajinasinya tidak jauh dari harta, tahta, wanita, dan segala yang terkait dengan hal itu. Semuanya dihubungkan ke dalam dunia, seakan dunia selamanya dan segalanya.
Kebalikannya, orang-orang yang bebas dari tipuan hawa nafsu, kesibukannya adalah amalan akhirat. Jika pun bergegas dalam perkara dunia, imajinasinya meninggi ke angkasa, berharap dan mengarahkan semua potensi dunia yang dia miliki untuk menebus akhirat.
Inilah pribadi yang terjamin keselamatannya, sebab menuruti nafsu adalah pangkal keterjerumusan dan sifat asasi binatang. Manusia yang memahami, ia tak akan pernah terlena dengan gemerlap dunia yang menumpulkan nuraninya.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]