Shalat adalah tiang agama. Shalat menjadi amalan pertama yang akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Jika shalat seseorang baik, maka baik pula amalan lainnya. Namun, jika shalatnya buruk, tidak tepat waktu, main-main, dan tiada perbaikan di dalamnya, maka buruk pula penilaian terhadap amalan lainnya.
Shalat adalah mikrajnya orang beriman. Ialah sarana komunikasi yang paling efektif antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Ada dialog yang terjadi di dalam shalat. Bahkan, Allah Ta’ala langsung memberikan jawaban ketika seorang hamba membaca surat al-Fatihah di dalam shalatnya.
Jika demikian, seharusnya shalat bisa menyelamatkan seorang hamba dari pedihnya siksa neraka. Shalat, semestinya bisa mencegah seorang hamba dari perbuatan keji dan mungkar. Akan tetapi, dalam realitas kehidupan, sebagaimana diinformasikan oleh Allah Ta’ala, ada orang-orang yang mendapatkan celaka lantaran shalatnya. Shalatnya bukan menyelamatkan, tapi mencelakakan.
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Qs. al-Ma’un [107]: 4-5)
“Dia,” tutur Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir al-Azhar, “telah melakukan shalat, tetapi shalatnya hanya membawa celakanya saja.”
“Karena,” lanjut penulis Tasauf Modern ini, “(mereka) tidak mengerjakan shalat dengan sungguh-sungguh, tidak timbul dari kesadarannya sebagai seorang Hamba Allah Ta’ala yang sewajamya harus menghambakan diri kepada-Nya dengan mengerjakan shalat yang diperintahkan-Nya dengan perantara Nabi-Nya.”
Sebab lainnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat kelima surat al-Ma’un ini, “Saahuun. Asal katanya bermakna lupa. Dia melupakan tujuan shalatnya itu. Meskipun mengerjakan shalat, namun shalatnya bukan dari kesadaran akan tujuan dan hikmahnya.”
Shalatnya asal-asalan. Asal mengerjakan. Asal gugur kewajibannya. Tidak dipersiapkan dengan baik. Tidak mengetahui syarat dan rukun serta sunnah-sunnah dan keutamaan-keutamaan shalat, dan lain sebagainya.
Lantaran itu pula, shalatnya tidak berbekas. Kelar shalat, yang dilakukan adalah perbuatan dosa dan maksiat. Bahkan, di dalam shalatnya, ia bermaksiat lantaran kebodohan diri dan keengganan memperbaiki pengetahuan dan pemahamannya.
Akan tetapi, dua ayat ini jangan disalahtafsirkan sebagai alasan sehingga malas mendirikan shalat. Jangan sampai berkata, ‘Buat apa shalat jika akhirnya celaka? Mending tidak shalat sekalian. Toh sama-sama celaka’. Persis seperti analogi makan. ‘Buat apa makan jika dari makanan itu akan timbul berbagai jenis penyakit mematikan?’
Karenanya, yang paling tepat adalah menjadikan ayat ini sebagai motivasi agar shalat kita dilakukan dengan khusyuk, sebaik mungkin, sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, shalat kita memiliki atsar; bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, bisa memasukkan ke dalam surga, bisa membentengi diri dari pedihnya siksa neraka.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]