Ketika Allah Ta’ala menyampaikan firman-Nya dalam bentuk kalimat pertanyaan, tutur Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir al-Azhar, maka hal itu menunjukkan betapa pentingnya kandungan firman tersebut.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (Qs. al-Ma’un [107]: 1)
Pendusta agama yang sebenarnya, sebagaimana disebutkan dalam surat ini, adalah orang-orang yang menghardik anak yatim. “Itulah orang yang menghardik anak yatim,” (Qs. al-Ma’un [107]: 2). Yadu’u dalam ayat tersebut bemakna menghardik, mengusir, menolak, dan ungkapan keburukan lainnya yang dilakukan dengan tangan.
Ialah pertanda kasarnya hati, buramnya nurani, gelap dan bodohnya pikiran. Kebencian. Nampaklah dalam ayat ini, demikian dijelaskan oleh Prof. Dr. Hamka, bahwa orang tersebut sangat membenci anak yatim. Maka dia disebut sebagai pendusta agama yang sebenarnya, meski dia melakukan ibadah ritual kepada Allah Ta’ala. Sebab, rasa benci kepada anak yatim dan umat manusia tak selayaknya bercokol di hati orang-orang yang beriman.
Setelah golongan pertama ini, kelompok kedua yang dimasukkan ke dalam pendusta agama yang sebenarnya adalah, “Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Qs. al-Ma’un [107]: 3)
Allah Ta’ala tidak menyebutkan ‘orang yang tidak memberi makan orang miskin’ tapi ‘orang yang tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin’. Artinya, dua perkara ini memang soalan yang berbeda. Bahwa memberi makan orang miskin hanya bisa dilakukan oleh orang kaya, sedangkan menganjurkan memberi makan kepada orang miskin bisa dilakukan oleh siapa saja.
Orang-orang ini, bisa saja tidak terlalu kaya. Akan tetapi, lantaran kebodohannya, dia hanya menikmati rezeki dari Allah Ta’ala untuk dirinya sendiri, bahkan tidak mendidik istri, anak-anak, dan keluarganya untuk berbagi makanan dan kebahagiaan kepada orang-orang miskin.
“Orang ini,” tulis Prof. Dr. Hamka, “termasuk orang yang mendustakan agama. Karena, dia mengaku menyembah Allah Ta’ala, tapi tidak perhatian dan tidak membantu kepada hamba-hamba-Nya yang membutuhkan pertolongan.”
Hendaknya kita memperhatikan dua hal ini dengan saksama. Jangan dianggap remeh atau sederhana. Jadikan dua hal ini sebagai prioritas untuk kita hilangkan dari dalam diri, keluarga, dan masyarakat tempat kita menetap.
Sebaliknya, jika dua hal ini bisa kita lawan dengan perbuatan sebaliknya, keberkahan akan dilimpahkan kepada kita. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjanjikan tempat terhormat bagi kita, kelak di surga-Nya.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]