
Kejayaan Islam erat kaitannya dengan interaksi kaum muslimin dengan Kitab Suci al-Qur’an. Di zaman Rasulullah Saw, al-Qur’an dipelajari bukan sekedar untuk dihafal, tapi direnungi dan dijadikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, interaksi mereka amat intens dan mesra dengan Kalam Allah Ta’ala itu. Dan karenanya pula, Allah Ta’ala menghadiahkan kejayaan Islam di tangan mereka.
Maka saat ini, kita perlu berhenti sejenak untuk menelisik lebih mendalam, bertanya pada nurani masing-masing, sudah seakrab apakah kita dengan al-Qur’an? Seberapa persenkah kehidupan kita yang berlandaskan al-Qur’an? Apakah kalam Allah Ta’ala itu hanya menghias di ruang tamu dan deretan bacaan lain, atau bahkan tergeletak tak berharga di atas lemari dengan tumpukan debu kemalasan yang makin menebal?
Rasulullah Saw yang terjamin atasnya surga, senantiasa berlama-lama dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Bahkan, beliau mengulang dan meneliti hafalan bersama malaikat Jibril yang mulia. Setingkat di bawah beliau, ada sosok Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau pernah berujar mantap, “Jika tali kekang untaku hilang, dan aku mencarinya, pasti akan kutemukan jawabaannya di dalam al-Qur’an.”
Sosok al-Faruq yang senantiasa bersemangat mengalahkan Abu Bakar dalam perlombaan kebaikan berkata lain lagi, sama inspiratifnya. Katanya, al-Qur’an adalah jawaban atas semua pertanyaan dan penghapus segala keraguan.
Demkianlah ungkapan-ungkapan mencerahkan itu. Bukan tanpa landasan, tapi berdasarkan perenungan mendalam lantaran seringnya berinteraksi dengan Kalam Allah Ta’ala dan menjadikannya sebagai landasan dalam beramal shaleh. Bahkan, mereka tidak beralih dari satu ayat ke ayat lain ketika belum bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
Generasi setelah mereka tak kalah luar biasanya. Kedekatan dengan kalam Allah Ta’ala ini seperti sebuah standar kejayaan. Manakala dekat interaksinya, maka kejayaan Islam adalah jaminan, hanya menunggu waktu yang tak lama lagi. Sebaliknya, ketika seseorang jauh dengan Kalam Ilahi itu, maka kejayaan hanya mimpi. Kejayaan Islam tidak diberikan kepada generasi yang jauh dari al-Qur’an.
Imam asy-Syafi’i-yang menjadi rujukan sebagian besar kaum muslimin Indonesia-hafal al-Qur’an di usia tujuh tahun. Kemudian beberapa tahun setelahnya, beliau berhasil menghafal kitab al-Muwaththa’ nan monumental karangan gurunya, Imam Malik. Sosok lain yang hafal al-Qur’an di usia yang sama adalah Imam Baqilani. Beliau juga hafal kitab al-Kaafiyah sebelum usia sepuluh tahun. Al-Kaafiyah adalah kitab rujukan dalam ilmu nahwu yang terdiri dari 3000 bait syair.
Sebelum diakhiri, mari merenungi apa yang disampaikan Imam an-Nawawi, penulis Riyadhush Shalihin. Beliau menceritakan akhir hayat Imam Abdullah bin Idris al-Kufi. Menjelang kematian sang imam, putrinya menangis. Namun, sang Imam berkata, ”Jangan menangis, Putriku.” Sebab, jelasnya, “Aku telah mengkhatamkan al-Qur’an di rumah ini sebanyak empat ribu kali.”
Masya Allah… [Pirman]