Di antara adab dalam berdoa adalah memulainya dengan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, memuja-muji asma’ Allah Ta’ala yang Agung, baru kemudian menyampaikan apa yang dihajatkan. Di antara apa yang dihajatkan itu, adalah sekian banyak kebutuhan duniawi sebagai seorang manusia. Dalam hal ini, amat banyak kaum muslimin yang terjebak dalam pasal berlebihan dalam meminta.
Meminta kecukupan duniawi amat dibolehkan, namun ada yang jauh lebih penting dari itu semua. Yaitu hidayah, petunjuk dari Allah Ta’ala agar kita bisa menjalani hidup sesuai dengan aturan yang telah disyariatkan-Nya. Petunjuk yang membimbing diri agar senantiasa berada di jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah Ta’ala, bukan jalannya mereka yang ingkar maupun sesat.
Inilah permintaan yang secara sadar atau tidak, senantiasa diulang berpuluh kali dalam sehari jika kita rutin mendirikan shalat wajib lima waktu. Sebuah pinta nan tulus, yang sejatinya lebih kita butuhkan dari sekadar makanan, minuman, pakaian, rumah, mobil, harta, maupun kebutuhan duniawi lainnya.
Lantas, mengapa doa memohon hidayah yang instruksi kalimatnya langsung berasal dari-Nya perlu diulang berkali-kali dalam sehari? Mengapa kalimat “Ihdinash shirathal mustaqim” harus kita baca setiap hari sebab menjadi bagian surat al-Fatihah yang tidak sah shalat seseorang ketika tidak membacanya?
Imam Ibnu Katsir dalam tafsir “al-Qur’an al-‘Adhim” menjelaskan ini dengan amat baik kepada kita semuanya. Mari simak penuturan penulis kitab nan monumental “al-Bidayah wa an-Nihayah” ini.
“Jika seorang mukmin tidak memohon hidayah siang dan malam hari,” terang beliau, “niscaya Allah Ta’ala tidak akan membimbingnya ke arah itu.” Selain itu, orang mukmin adalah sosok yang amat besar kebutuhannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lanjut beliau, “Seorang hamba senantiasa membutuhkan Allah Ta’ala setiap saat dan situasi.”
Tujuannya, “Agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelanggengan hidayah,” sebab, lanjut beliau, “manusia tidak kuasa memberikan manfaat atau madharat kepada dirinya sendiri, kecuali jika Allah Ta’ala Menghendaki.” Karenanya pula, pungkas beliau menerangkan, “Allah Ta’ala selalu membimbingnya untuk senantiasa memohon agar Dia memberikan pertolongan, keteguhan, dan taufik (kepadanya).”
Maka orang yang bahagia adalah siapa yang berada dalam keselamatan Islam, keyakinan iman, dan senantiasa dalam naungan taufik untuk senantiasa memohon hanya kepada Allah Ta’ala. Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.[Pirman]