Dalam sebuah kesempatan, beliau dipermainkan oleh sosok yang mengundangnya untuk makan. Yang mengundang hanya ingin menguji; seberapa sabarnya ulama ini? Benarkah ia layak dijuluki sebagai ulama.
Kejadiannya, saat beliau sudah tiba di halaman rumah si pengundang, tuan rumah berkata lantang, “Maaf, Kiyai. Makanan sudah habis. Anda pulang saja.” Tak mengeluarkan sekata pun, beliau langsung balik kanan, pulang ke rumahnya.
Baru beranjak beberapa langkah, tuan rumah kembali mengundangnya dengan berteriak. Rupanya, sang ulama tetap mendatanginya. Padahal, baru saja ‘diusir’. Saat jaraknya lebih dekat ke rumah dengan jarak kedatangannya yang pertama, tuan rumah kembali berseru lantang, “Duh, maaf banget, Kiyai. Saya kira tadi masih ada. Rupanya salah lihat. Makanan sudah habis. Aku urung mengundangmu.”
Seperti yang pertama, beliau langsung membalik arah, pulang dengan tidak mengatakan apa pun. Lalu, ketika ulama ini hendak hilang dari pandangannya, tuan rumah pun mengejarnya. Akunya menjelaskan, “Maaf, Kiyai. Saya minta maaf. Saya hanya hendak mengujimu. Dan, benarlah bahwa Tuan termasuk ulama yang amat sabar.”
Mengejutkan, ulama kharismatik ini berkata, “Aku tak lebih mulia dari seekor anjing yang datang ketika dipanggil, dan pergi saat diusir.” Beliau pun berlalu, tanpa merasa bangga lantaran dipuji oleh sosok yang mengundangnya itu.
Dalam kesempatan lain, beliau malah turun dari tunggangannya saat disiram debu sepenuh baskom dari atas sebuah rumah bertingkat, kemudian melakukan sujud syukur. Setelahnya, beliau berlalu seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Heran melihat tingkahnya, sahabat yang membersamainya pun bertanya, “Harusnya Anda marah, Kiyai. Kok malah sujud syukur?”
“Orang yang hanya mendapatkan siraman sebaskom debu padahal layak baginya mendapatkan siraman api neraka sebagai hukuman tidaklah pantas untuk marah-marah!”
Kisah-kisah keteladanan sejenis ini haruslah kita perbanyak, kemudian berupaya sungguh-sungguh untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dengan akhlak mulialah hidup kita akan bahagia di dunia dan akhirat.
Beliau yang mulia akhlaknya dalam kisah di atas adalah Abu ‘Utsman al-Hijry yang dikisahkan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia. [Pirman/Kisahikmah]