Setan akan menjerumuskan manusia ke dalam lembah dosa dan maksiat dengan berbagai cara. Hal itu erat kaitannya dengan vonis yang Allah Ta’ala berikan bahwa setan akan menjadi penghuni tetap neraka Jahannam. Karenanya, mereka akan mencari sebanyak mungkin pengikut dari kalangan manusia.
Guna menghindarkan diri dari godaan setan yang terkutuk, yang membisiki ke dalam hati manusia dengan rayuan palsunya, ada sebuah kisah yang dinukil oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin.
Malam itu, Muhammad bin Suwar tengah mendirikan shalat. Tak jauh dari tempatnya itu, terbangunlah keponakannya yang bernama Sahal bin Abdullah Tasatturi. Berniat mendidik keponakannya itu, Muhammad bin Suwar bertanya, “Wahai keponakanku, tidakkah engkau mengingat Allah Ta’ala yang telah menciptakanmu?”
Keponakan yang masih berusia tiga tahun itu menjawab dengan polos, “Bagaimana caranya, Pamanku?”
Dengan santun nan lembut, Pamannya itu mengatakan, “Sebelum tidur, ucapkanlah tiga kalimat ini tanpa menggerakkan lisan (ucapkan dalam hati), “Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.”
Berbilang hari, anak yang polos itu senantiasa menjalankan nasihat Pamannya. Ia juga tak lupa melaporkan amalannya itu kepada sang Paman. Mendapati keponakannya begitu antusias dalam menjalankan apa yang ia nasihatkan, sang Paman menambahi, “Nak,” ujarnya lembut, “baca tiga kalimat itu tujuh kali dalam semalam.”
Ternyata, jumlah amalan yang semakin banyak tak mengendurkan semangat Sahal. Bahkan, ia semakin istiqamah, hingga sang Paman menambahkannya menjadi sebelas kali dalam satu malam.
Tak terasa, terhitunglah masa satu tahun. Sahal berkata, “Ketika aku telah rutin mengamalkan kalimat ini selama satu tahun, aku mendatangi Pamanku.” Sang Paman tersenyum bangga seraya menyampaikan, “Lakukan itu hingga akhir hayatmu,” lanjutnya bertenaga, “sebab kalimat itu akan bermanfaat di dunia dan akhirat.”
Lebih lanjut, sang Paman menjelaskan maksudnya, “Wahai Sahal, barang siapa yang merasakan bahwa Allah Ta’ala bersamanya, melihatnya, dan menyaksikan semua perkataan, perbuatannya, dan bisikan hatinya, apakah orang tersebut akan melakukan maksiat kepada-Nya ‘Azza wa Jalla?”
Demikianlah sejatinya pengajaran tauhid itu diberikan kepada anak-anak kita. Bahwa mereka yang masih suci hatinya terlebih dahulu diberikan ilmu tentang Allah Ta’ala. Sebab pengajaran di waktu belia bagai mengukir di atas batu.
Dengan tauhid yang benar, seseorang akan selalu merasa dibersamai, dilihat dan disaksikan oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian, ketika kesadaran itu mengakar kuat dalam sanubarinya, akankah ia leluasa berkhianat kepada Allah Ta’ala melalui perbuatan maksiat? [Pirman]