
Tiba-tiba wanita itu mengalami demam yang hebat disertai gigil yang tak biasa. Perutnya mual, keluar keringat dingin, dan rasa yang tak menentu, muntah-muntah. Bersebab panik, dan ia tak terlalu percaya dengan pengobatan medis masa kini, maka dengan bantuan suaminya, mereka berdua mendatangi dukun yang kala itu menjadi perbincangan hangat masyarakat di kelurahan tempat mereka bermukim.
Namanya saja dukun, tentu saja dia tak memiliki standar operasional terhadap ‘pasien’ yang datang. Lepas melakukan serangkaian ritual ciptaannya sendiri, keluarlah sebuah diagnosis sesat nan membahayakan. Dikatakan penuh keyakinan kepada ‘pasiennya’ itu, “Pak,” hentinya sejenak untuk mengundang penasaran. Kemudian dilanjutkan seraya melirik wajah sang istri yang mulai terlihat khawatir, “Istri anda terkena guna-guna.”
Bagi kedua pasangan itu, seketika setelah mendengar vonis sang dukun, dunia seakan berhenti. Wajah mereka pucat, mulut terbuka, dahi berkerut dan keluar keringat dingin. Di dalam hati sepasang suam istri itu langsung terbersit jutaan prasangka yang muaranya ada pada satu tanya, “Siapakah gerangan yang melaukan perbuatan laknat ini?”
Padahal, tanpa disadari, kedatangan keduanya ke rumah sang dukun, kemudian bertanya dan mempercayai apa yang disampaikannya itu, adalah tindakan laknat yang menjadi sebab dikeluarkannya vonis sesat sang dukun.
Lantaran vonis tersebut, maka sang dukun melakukan serangkaian tindakan konyol yang diklaimnya sebagai ritual peyembuhan. Sebelum pulang, keduanya juga diberi aneka ramuan tak jelas yang disebutnya sebagai obat. Tak lupa, sang dukun memberikan jadwal kontrol dengan jeda waktu yang tak jelas, sesuka hatinya.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, suami istri itu menyanggupi semua saran dan berniat sungguh-sungguh untuk melakukan perintah sang dukun, dengan semua risiko yang mungkin dialami keduanya demi kesembuhan sang istri.
Beberapa hari setelah kepulangan keduanya dari rumah dukun itu, entah dari mana sumbernya, di kelurahan yang terletak di pinggiran Ibu Kota itu langsung tersiar kabar bahwa sang istri tersebut terkana guna-guna. Kemudian, seiring berjalannya waktu, sesuai perintah sang dukun, keduanya rutin melakukan kontrol.
Karena memang tak ada ‘makan siang’ gratis, maka setiap kali datang ada biaya harus dibayarkan. Sehingga, berbilang bulan kemudian, perlahan namun pasti kekayaan suami istri itu semakin menyusut karena disetorkan kepada sang dukun. Bahkan, tanah di belakang rumah mereka terjual untuk ‘berobat’ kepada sang dukun.
Memang, berbilang bulan, gejala yang dialami oleh sang istri semakin berkurang. Apalagi setelah memasuki bulan ketiga dan keempat.
Nah, di bulan-bulan itulah, diketahui sebab utama gejala yang menimpa sang istri. Sebab memang, perutnya semakin buncit. Dan ternyata, dia hamil!
Duh, meruginya mereka. [Pirman]