Cinta adalah perasan asasi yang ada pada semua manusia. Selain kepada orang tua, keluarga dan sesama, cinta juga timbul antar mereka yang beranjak remaja-dewasa kepada lawan jenisnya. Inilah ujian cinta yang muaranya bercabang; bahagia atau sengsara.
Maka ketika pemuda dilanda cinta jenis ini, ia harus melakukan solusi yang tepat; agar cintanya tak menjerumuskan ke dalam lubang siksa. Sebaliknya, rasa yang timbul secara alamiah itu harus diatur dengan benar sehingga berdampak kebaikan bagi diri dan sekitarnya; di dunia juga akhirat.
Tatkala cinta melanda, kadang para pecinta hilang kesadarannya. Ia yang mulanya amat logis sekalipun, bisa mendadak buta mata dan hati ketika disandera ‘makhluk’ bernama cinta. Tak jarang, bersebab hal ini, banyak para pecinta yang lakukan perbuatan bodoh atas nama cinta.
Malam itu, pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, seorang pemuda ditangkap tatkala ia tengah menyelinap ke sebuah rumah. Setelah penangkapan, ia pun dihadapkan kepada Khalifah keempat kaum muslimin itu.
“Wahai Pemuda,” tanya Ali, “Apa yang engkau inginkan dengan menyelinap ke rumah itu?”
Yang ditanya menghirup nafas sejenak, kemudian membuka mulutnya memberikan keterangan. Ujarnya, “Aku tidak berniat mencuri.” Pemuda itu pun berjanji untuk menyampaikan alasan penyelinapannya kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam sebuah bait syair.
Rupanya, Pemuda itu jatuh cinta kepada anak pemilik rumah. Hatinya tertawan pada sosok gadis yang berada di rumah itu.
Begitulah perasaan bernama cinta. Ia menyergap tanpa permisi. Ia bertamu sesuka hati, dan kadang pergi tanpa sebab yang pasti. Beruntungnya, Islam yang mulia memberikan solusi amat baik dalam hal ini. Dalam Islam, saat seorang pemuda dilanda asmara, maka mereka disarankan untuk segera menikah.
Lantas, bagaimana nasib sang Pemuda dalam kisah ini? Apakah Khalifah Ali bin Abi Thalib menghukumnya sebab menyelinap ke rumah salah satu rakyatnya?
Maka, Ali bin Abi Thalib pun berkata kepada pemilik rumah. Ialah Mahlab bin Rabah, ayah sang gadis pujaan hati Pemuda itu. Kata Ali, “Perkenankan Pemuda ini menikahi anakmu,” ujarnya menerangkan, “Kamilah yang akan menanggung maharnya.”
Bahagianya Pemuda itu. Kenekatan aksinya diganjar balasan terbaik. Sang Khalifah langsung meminta sang wali untuk menikahkan anaknya kepada Pemuda itu. Bahagianya pun bertambah, sebab sang Khalifah yang menanggung maharnya.
Demikianlah pemimpin yang adil dan bijak. Ia akan senantiasa dikenang dalam sejarah dengan tinta emasnya. Barangkali, kisah ini adalah solusi bagi pemimpin negeri ini untuk mengurangi jumlah kejahatan dan penyimpangan seksual yang makin menjamur. [Pirman]