Tidaklah seorang hamba melakukan maksiat besar, kecuali karena didahului maksiat-maksiat kecil, perbuatan sia-sia, dan dosa yang dikerjakan terus menerus. Bermula dari melihat, tertarik, mencoba untuk pertama kali, penasaran untuk mengulangi dan menjadi kebiasaan yang melekat dalam keseharian.
Jika senantiasa dituruti, ia akan merasa baik-baik saja setelah melakukan dosa, bahkan merasakan kebaikan meski sejatinya memanen keburukan tiada bertepi. Menjadi semakin malang saat merasa bangga dan memamerkan keburukan yang biasa dia kerjakan.
“Ketika kemungkaran banyak merasuk di hati dan mata berulang-ulang menyaksikannya, sedikit demi sedikit, maka besar dan parahnya kemungkaran menjadi berkurang di matanya.” ungkap gurunya para sufi Imam al-Harits al-Muhassibi mengutip dari kitab Faidh al-Qadir.
Maksiat pertama yang kita kerjakan bisajadi bermula dari melirik sesuatu yang tidak hak. Hanya sekilas, itu pun terjadi saat kita melakukan sebuah perjalanan. Benar-benar terjadi begitu saja, tapi menjadi sering sehingga tidak disadari sebagai sebuah dosa.
Dari tidak sengaja, menjadi sengaja, terus penasaran dan kebiasaan. Dari sekali menjadi dua kali, berkali-kali, dan terus menerus tanpa henti.
“Orang yang melihatnya tidak lagi merasa bahwa yang dia lihat adalah sebuah kemungkaran dan tidak lagi menganggapnya sebagai maksiat karena hatinya telah akrab dengannya.” pungkas al-Muhassibi dalam Risalah al-Mustarsyidin.
Pacaran, mulanya hanya kenalan biasa. Saling mengetahui nama, tempat tinggal, asal sekolah dan hal lumrah lainnya. Selanjutnya meminta nomor kontak, memulai menyapa, bertanya kabar, lantas menjadi obrolan-obrolan intens dengan perhatian yang mulai terkesan diada-adakan.
Setelah lama berkomunikasi, dua manusia ini pun mengajak untuk bertemu. Mulanya canggung. Malu-malu. Segan. Tapi, setelah pertama bertemu, ada rasa yang tak biasa hingga berlanjut pada pertemuan kedua dan seterusnya.
Setelah betemu berkali-kali, keduanya mulai terbiasa bahkan ada yang kurang saat belum menyapa atau bertemu. Semuanya terjadi seperti begitu saja lantaran kebiasaan yang dilakukan dalam masa yang lama.
Selanjutnya jadian, rutin bertemu, merayakan hari jadian tiap bulan, hingga keduanya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa; tidak melihatnya sebagai perbuatan dosa dan kemungkaran.
Saking biasanya, mereka menganggap pacaran sebagai sesuatu yang lumrah bahkan kebanggaan hinga layak dipublikasikan kepada seluruh orang yang dia kenali; di rumahnya, di masyarakat, di kampus atau di tempatnya bekerja.
Sungguh, kita harus berhati-hati dalam hal ini. Jangan sampai kita menganggap maksiat atau kemungkaran sebagai sesuatu yang biasa lantaran sering menyaksikan bahkan menikmatinya.
Semoga Allah Ta’ala melindungi diri, keluarga kita, dan kaum Muslimin dari jahatnya bisa bernama biasa ini. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]