Beliau adalah salah satu sosok yang dijamin surga. Termasuk sahabat muhajirin, sosok ini pernah ditawari istri dan rumah oleh sahabat anshar yang dipersaudarakn kepadanya. Namun, saudagar nan bertakwa ini menolak halus. Beliau justru memilih bertanya, “Tolong, tunjukan kepadaku di mana letak pasar.”
Maka begitulah perniagaan ‘Abdurrahman. Sebuah perdagangan yang diberkahi. Sebab, tanpa modal yang banyak, beliau berhasil pulang ke Makkah dalam penaklukan kota itu dengan aset kekayaan yang sulit dicari tandingan dan bandingannya hingga kini.
Allah Swt Mahakaya. Dia kurniakan sedikit perbendaharaan harta kepadanya. Sebab kelayakan, sebab terdapat hikmah yang banyak di dalamnya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, di tangan ‘Abdurrahman, bahkan debu dan batu bisa ‘diolah’ menjadi komoditi perdagangan hingga menghasilkan banyak keuntungan.
Beliau bukan hanya sosok saudagar nan kaya. Dalam kepribadiannya terkumpul pula semangat keprajuritan dan keshalihan yang mumpuni. Di medan perang, beliau berada dalam barisan terdepan. Saat mendatangi shalat dan ibadah ritual lainnya, namanya selalu pula berada di shaf terdepan dalam memenuhi panggilan Rabbnya itu.
Hebatnya lagi, dalam hatinya tak terbetik sedikit pun sikap sombong atawa jumawa. Rendah hati adalah salah satu kepribadian manis yang terdapat di dalam sosok itu.
Salah satu momen haru itu, terjadi ketika Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat utamanya telah wafat. Dalam sebuah kesempatan, dihidangkanlah makanan yang lezat kepada saudagar kaya raya ini. Bukannya menyambut dan menikmatinya, ia langsung berdiri seraya menangis.
Tentu, ini amat membingungkan bagi sahabat yang menyajikan makanan lezat itu. Sebab, sang penyaji hanya berniat menghormati tamunya, bukan untuk bermewah atau berbangga diri. Masih dalam tangisnya, anak ‘Auf ini berkata, terbata-bata, “Sungguh,” ungkapnya berat. Kemudian, “sahabat-sahabat kami telah wafat.” Yang dimaksud adalah Rasulullah saw dan sahabat utama lain yang telah berpulang ke sisi Allah Swt.
“Namun,” lanjut ‘Abdurrahman, “mereka belum pernah melihat yang seperti ini.” Beliau yang lembut hatinya ini menjelaskan, makanan selezat ini tak pernah dinikmati oleh Raslullah Saw dan sahabat-sahabat utamanya, lalu bagaimana mungkin ia akan menikmatinya? Padahal ia merasa tak lebih mulia dari Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat dekatnya itu.
Penjelasan ini, diperkuat dengan kalimatnya yang diungkapkan kemudian “Dan sunnguh,” ucapnya bertenaga, “dahulu Mush’ab bin Umair lebih baik daripada kami,” katanya menuturkan. Mush’ab adalah pemuda parlente berjamin surga yang menukarkan kekayaan, kemewahan dan kemegahan kehidupan dunia dengan surga yang abadi. Pungkas ‘Abdurrahman menerangkan, “tetapi dia belum pernah melihat makanan yang seperti ini.”
Sahabat sekalian, bukankah ini tamparan keras di pipi dan wajah masing-masing kita? Saat ‘Abdurrahman yang kaya raya itu menolak makanan lezat sebab belum pernah dinikmati oleh Rasulullah Saw makanan selezat itu, kita yang sama sekali tak dijamin surga oleh siapa pun dan tak lebih kaya dari beliau, dengan jumawa berkeliling rumah makan mewah hanya untuk mencoba dan menghabiskan waktu dengan makanan-makanan lezat, mewah dan mahal harganya. Padahal, di belahan bumi lainnya, amat banyak kaum muslimin yang harus menahan lapar dan dahaga hingga waktu yang tak tertentu.[Pirman]