Sekitar satu bulan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, tepatnya pada 27 Rajab, kita memperingati peristiwa agung Isra’ Mi’raj. Ialah diperjalankannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ini termaktub di dalam surat Bani Israil [17] ayat 1. Allah Ta’ala berfirman, “Mahasuci Allah Ta’ala yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Imam Besar Majid Istiqlal, Prof DR Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa Isra’ Mi’raj ini sangat penting untuk dimaknai hingga kita bisa memasuki bulan Ramadhan dengan keimanan yang mengesankan.
Beliau menyebutkan, Isra’ Mi’raj merupakan peristwa melangitkan manusia untuk kembali (berkontribusi) di bumi, sedangkan Malam Lailatul Qadr sebagai peristiwa membumi untuk melangitkan manusia.
Masih merujuk pada penjelasan beliau, mari sejenak melihat tafsir peristiwa Isra’ Mi’raj ini dari perspektif tasawuf, agar ianya tak sebatas angka-angka sejarah yang saban tahun berulang tanpa atsar yang jelas di dalam diri kaum Muslimin.
Pertama, jika ada ayat yang diawali dengan ‘Subhana (Mahasuci)’, maka di dalamnya ada penjelasan terkait peristiwa luar biasa yang mustahil dijangkau dengan logika. Jika perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha bisa terpecahkan hari ini dengan kendaraan supercepat di darat, maka perjalanan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha akan senantiasa menjadi misteri sampai kapan pun. Hanya iman yang mampu menjelaskannya.
Kedua, Allah Ta’ala menggunakan kata ‘asra (memperjalankan) yang bermakna pasifnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dan ‘aktifnya’ Kuasa Allah Ta’ala dalam peristiwa nan agung ini.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lebih pada pelaku. Di atas beliau ada Allah Ta’ala yang Mahakuasa, mulai dari merencanakan, memperjalankan, mempertemukan Nabi dengan nabi-nabi sebelumnya, memberikan perintah shalat, dan seterusnya.
Di tahap ini, kita tidak perlu membahas soal teknis. Sebab Allah Ta’ala benar-benar Berkuasa atas segala sesuatu.