Lanjutan dari Tafsir Sufi Peristiwa Isra’ Mi’raj
Ketiga, bi-‘abdihi (hamba-Nya). Allah Ta’ala tidak menyebutkan nama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam secara langsung yang bermakna, semua hamba-Nya bisa melakukan mi’raj sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa shalat merupakan mi’rajnya orang-orang yang beriman.
Di sini, kita wajib tersenyum dan optimis. Sebab, di mana pun maqam spiritual yang kita duduki, ada kesempatan yang besar untuk naik kelas. Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita tiket yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk ni’raj, naik bertemu dengan Allah Ta’ala melalui ibadah shalat dan ibadah-ibadah lainnya.
Kelima, huruf ba’ dalam kalimat bi-‘abdihi berfungsi sebagai isyarat kedekatan (litab-‘id). Artinya, Allah Ta’ala memberikan kriteria khusus hanya kepada hamba-hamba yang dekat dengan-Nya untuk melakukan perjalanan spiritual, naik kepada-Nya.
Keenam, lailan (malam). Ada begitu banyak makna malam dalam kalimat ini. Malam, mula-mula juga disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam untuk mendekatkan diri kepada-Nya dalam shalat Tahajjud.
Malam dipilih oleh Allah Ta’ala untuk menurunkan al-Qur’an al-Karim. Turunnya wahyu pertama juga terjadi di malam hari di gua hira saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tengah bertahannuts. Para wali-wali Allah Ta’ala juga mendapatkan pengalaman spiritual yang mengesankan di malam hari.
Bahkan, Imam asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala pernah mengatakan, “Siapa yang menghendaki martabat yang tinggi di hadapan Allah Ta’ala, hendaknya dia banyak berjaga di malam hari.” Karena itu pula, Allah Ta’ala menjanjikan kedudukan yang amat tinggi bagi siapa yang berlelah-lelah melawan kantuk untuk bangun di malam hari guna beribadah kepada-Nya dalam berdiri, ruku’, duduk, dan sujud.
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat Tahajjud sebagai (ibadah) tambahan bagimu; muda-mudahan Allah Ta’ala mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Bani Israil [17]: 79)
Allah Ta’ala juga lebih banyak memerintahkan ibadah shalat di malam hari. Mulai dari Maghrib, Isya’, Tahajjud, Qiyamullail, Witr, Fajr, dan lain sebagainya. Sedangkan di siang hari, Dia Ta’ala hanya mensyariatkan shalat Zhuhur, Ashar, dan Dhuha.
Rahasianya, malam lebih kondusif karena lebih tenang. Di malam hari, Allah Ta’ala menciptakan seorang hamba mampu menggapai derajat alpha, teta hingga delta, sedangkan di siang hari manusia berada dalam kondisi beta (aktif).
Dengan sederet penjelasan bernuansa tasawuf ini, mudah-mudahan kita mampu memahami dengan baik untuk mengaplikasinnya dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa Allah Ta’ala memberikan seluruh modal spiritual kepada kita. Dengan demikian, kita harus benar-benar beramal dengan optimal, agar Ramadhan kali ini, kita benar-benar bisa melakukan mi’raj menuju Allah Ta’ala dan mendapatkan maqam tinggi berupa Ridha-Nya Ta’ala. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
Rujukan: Rahasia Isra’ Mi’raj; Menyongsong Ramadhan (1), Prof DR Nasaruddin Umar, Dialog Jum’at Republika 3 Juni 2016