Dari sahabat mulia Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu Ta’ala, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang dipenuhi berkah. Allah Ta’ala mewajibkan kepada kalian (untuk) berpuasa. Dibuka lebar pintu surga. Ditutup rapat pintu neraka. Dan dibelenggulah (para) setan. Di dalamnya terdapat malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Barang siapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikannya, sungguh ia terhalang dari kebaikan bulan puasa.”
Dalam hadits yang amat masyhur ini disebutkan bahwa setan dibelenggu pada bulan Ramadhan. Namun, kita mendapti fakta banyaknya kejahatan yang masih terjadi di bulan penuh keberkahan ini. Lantas, apa sejatinya makna kalimat ‘setan dibelenggu’ ini?
Berdasarkan penjelasan Ustadz Bachtiar Nasir yang dikutip Hafidz Muftisany dalam Dialog Jum’at Republika 3 Juni 2016, ada tiga makna terkait kalimat ini.
Pertama, setan hanya dibelenggu dalam wilayah bisikannya (was-was).
Setan dari kalangan jin dan ifrit tetap beroperasi sehingga ada beberapa kasus kesurupan yang terjadi di bulan Ramadhan. Namun, kasus kesurupan ini bisa dibilang mustahil menimpa kaum Muslimin yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Di bulan Ramadhan, kaum Muslimin diberi ilham untuk ringan melakukan kebaikan sehingga peluang melakukan keburukan menjadi lebih sempit bahkan hilang. Dengan demikian, pengaruh godaan setan pun semakin sempit hingga tidak ada celah untuk menggoda.
Kedua, setan dibelenggu seluruhnya, secara fisik.
Pendapat ini berdasarkan fakta banyaknya malaikat yang diturunkan oleh Allah Ta’ala di bulan yang penuh keberkahan ini. Malaikat-malaikat tersebut menjaga manusia dari gangguan setan yang terkutuk.
Setan terhalangi dari melakukan perbuatan yang biasanya mereka lakukan dalam kondisi bebas. Mereka dibelenggu di bagian leher dan tangan, meski masih bisa bergerak. Gerakan inilah yang memungkinkan bagi mereka untuk mendekati dan membisiki manusia agar melakukan perbuatan buruk.
Ketiga, setan tidak dibelenggu secara hakiki.
Hanya makna kiasan. Banyaknya ampunan di bulan Ramadhan merupakan nikmat sehingga setan seperti terbelenggu karena sedikitnya manusia yang mengikuti bisikannya. Jika pun menggoda, efeknya amat sedikit bahkan tidak ada. Usaha setan menjadi sia-sia.
Menyikapi berbagai pendapat ini, Ibnu Utsaimin memilih menempatkan riwayat ini sebagai hal yang ghaib sehingga tidak perlu banyak diperbincangkan. Cukuplah meyakini kalimat ini sebagai sabda dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang pasti kebenarannya.
Ibnu Utsaimin merujuk pada pendapat Imam Ahmd bin Hanbal. Saat anaknya bertanya, “Mengapa masih ada pelaku kejahatan, padahal setan dibelenggu di bulan Ramadhan?”, sosok penulis kitab Musnad ini menjawab, “Begitulah hadits ini. Jangan membicarakannya (masalah ini secara logika).”
Semoga Allah Ta’ala berkahi kita di bulan Ramadhan yang sudah di rahang pintu. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]