Rasulullah Tak Mengerjakan, Mengapa Puasa Tasua Jadi Sunnah?

0
puasa tasua

Dua di antara amalan bulan Muharram adalah puasa tasua dan puasa asyura. Rasulullah biasa mengerjakan puasa asyura bahkan sangat mengutamakan. Namun puasa tasua, mengapa disebut sunnah padahal beliau tidak pernah mengerjakan?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengutamakan puasa asyura. Beliau juga memerintahkan para sahabat  untuk mengerjakan puasa tanggal 10 Muharram ini.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ ، إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ . يَعْنِى شَهْرَ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan puasa satu hari yang diutamakannya atas yang lainnya selain hari ini, hari asyura dan bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)

Selain itu, Rasulullah juga menjelaskan keutamaan puasa asyura. Khususnya, ketika ada sahabat yang bertanya. Sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya tentang puasa asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

Penjelasan lengkap mengenai puasa asyura mulai dari hukum, keutamaan, tata cara hingga niatnya bisa dibaca di artikel Niat Puasa Asyura.

Sunnah Puasa Tasua

Nah, untuk puasa tasua, mengapa juga termasuk amalan sunnah padahal Rasulullah tak pernah mengerjakannya?

Syaikh Dr. Mahmud Ath Thahhan dalam Mabahits fi ‘Ulumil Hadits menjelaskan, hadits adalah apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan dan sikap diam setuju) maupun sifat.

Sedangkan Syaikh Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib dalam Ushul Hadits menjelaskan, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.

Rasulullah memang belum pernah mengerjakan puasa tasua. Namun beliau sudah mensabdakan akan mengerjakan puasa tanggal 9 Muharram tersebut.

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan orang agar berpuasa padanya, mereka berkata, “Ya Rasulullah, ia adalah suatu hari yang dibesarkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika datang tahun depan, insya Allah kita berpuasa juga pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Maka belum lagi datang tahun berikutnya itu, Rasulullah SAW pun wafat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Nah, hadits inilah yang menjadi dalil puasa tasua. Hadits qauli. Yang tentu saja, ia juga menjadi sunnah pada bulan Muharram. Sebagaimana Ibnu Rajab menjelaskan: “Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di antaranya adalah berpegang teguh pada sesuatu yang dijalankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khulafaur Rasyidin, berupa keyakinan, amalan dan ucapan. Itulah bentuk sunnah yang sempurna.”

Dalam fiqih, hukum puasa tasua juga sunnah. Yakni jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak mendapat dosa.

Baca juga: Mistik Puasa Daud

Hikmah Puasa Tasua

Di antara hikmah puasa tasua adalah menyelisihi kebiasaan Yahudi dan Nasrani. Hal itu bisa diketahui dari hadits di atas. Setelah mengetahui Yahudi dan Nasrani mengagungkan hari asyura dan berpuasa di dalamnya, Rasulullah mensabdakan akan puasa juga pada tanggal 9 Muharram. Puasa tasua.

Tentu penambahan puasa tasua ini bersumber dari wahyu. Beliau tidak bicara dan menetapkan ibadah kecuali sebagai Rasulullah yang selalu dibimbing wahyu.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An Najm: 3-4)

Pada hadits yang lain, Rasulullah mengisyaratkan larangan tasyabbuh (menyerupai Yahudi, Nasrani dan kaum musyrikin).

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Dawud; shahih)

Semoga kita semua dimudahkan Allah mengerjakan puasa tasua dan puasa asyura. Aamiin. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaKisah Ghibah di Zaman Nabi, Ketika Benar Tercium Bau Bangkai
Artikel berikutnyaMengapa Jin Tak Berani Mengganggu Orang yang Membaca Ayat Kursi?