Kesetiaan suami kepada istrinya itu masih ada. Setidaknya, kita bisa menjumpainya pada sosok Suyatno. Saat dikisahkan oleh Tarbawi tahun 2009, usianya sudah 58 tahun. Seorang suami setia. Ia telah merawat sepenuh cinta istrinya yang menderita sakit.
Sang istri lumpuh. Tak mampu menggerakkan anggota badannya. Tulangnya lemas, tak berdaya. Karenanya, sehari-hari hanya bisa berbaring. Maka, Suyatno dengan cintanya senantiasa memandikan, membersihkan dari kotoran, mengenakan pakaian, dan mengangkat istrinya saban hari.
Lumpuh yang diderita sang istri itu hadir ketika ia melahirkan anaknya yang keempat. Dan, sekitar dua puluh tahun setelahnya, Suyatno melakukan kerja-kerja cinta membesarkan keempat anaknya seorang diri hingga semuanya berkeluarga.
Suyatno masih bekerja. Maka di pagi buta ia bergegas memandikan istrinya dan merapikan keadaannya. Menyuapi, kemudian membopongnya untuk dibaringkan di depan televisi agar istrinya itu tak merasa sepi saat ditinggal kerja. Kemudian di senja hari, Suyatno bergegas pulang. Kembali memandikan istrinya, kemudian menceritakan semua yang dialami di tempat kerjanya selepas Maghrib.
Sang istri hanya diam. Sebab lidahnya pun tak mampu bicara. Tapi, Suyatno selalu memperlakukannya demikian setiap hari. Bahkan, sebelum dibopong ke tempat tidur, ia masih sempat menggoda dan mencandai istrinya. Mesra.
Suatu hari, saat anak-anaknya sudah memiliki rumah sendiri dengan keluarga kecilnya, keempatnya bertandang. “Yah,” ujar salah satu dari mereka, “menikahlah dengan wanita lain.” Jelasnya, “Ibu pun menyepakatinya. Kami ingin Ayah bahagia menghabiskan hari tua. Kami janji akan merawat ibu bergantian.”
Bukan sekali tawaran itu disampaikan kepada Suyatno. Ini adalah kali keempat. Dan, Suyatno selalu menolaknya dengan halus. “Jika tujuan Ayah nafsu, pastilah Ayah sudah menikah lagi.” Demikian alasan yang selalu disampaikannya.
“Keberadaan ibu kalian di samping Ayah,” tuturnya menjelaskan, “sudah lebih dari cukup. Ibu telah melahirkan kalian, anak-anak yang senantiasa menyejukkan hati dan Ayah rindukan kehadirannya.” Suyatno memahami, bahwa sakit yang dialami istrinya adalah takdir, bukan atas kehendak sang istri.
“Kalian inginkan Ayah bahagia, tapi,” hentinya sejenak seraya tertahan, “akankah Ayah bahagia jika meninggalkan ibu seorang diri?” Apalagi, ungkapnya penuh ketulusan, “Lantaran ibu, kalian terlahir. Anak-anak yang penuh cinta, dan tak ada yang lebih berharga dari kalian.” Mendengar penjelasan sang Ayah, keempat anaknya menangis. Bersamaan.
Demikian itulah kesetiaan suami luar biasa bernama Suyatno. Maka tatkala ada stasiun televisi swasta yang mewawancarainya, Suyatno bertutur lembut, “Banyak manusia yang mengagungkan cinta. Tapi, jika mereka mencintai bukan karena Allah, maka semuanya akan luntur. Saat sehat, istriku melayaniku dengan hati dan batinnya. Bukan dengan pandangan mata semata. Dia juga telah memberikan empat anak yang lucu-lucu.”
Semoga Allah Ta’ala berikan balasan terbaik atas kesabaran dan cinta yang Suyatno berikan kepada istri yang amat disayanginya itu. Aamiin. [Pirman]