Lepas tunai Bakdiyah Maghrib, pemuda ini terduduk dalam munajatnya. Berniat menunggu Isya’. Di pikirannya masih berkecamuk aneka persoalan yang dihadapinya. Kemarin, sekarang, hingga prediksi-prediksi yang dibuat untuk menghadapi masa yang akan datang. Rumit. Itulah kesimpulan yang ada di benak sempit pemuda itu.
Ada bayangan tentang statusnya yang tak kunjung beristri. Pasalnya, sudah berkali-kali taaruf serius, nyatanya jodoh belum berpihak padanya. Banyak sebab. Kadang, ia yang ditolak. Tak jarang pula, dirinya yang menolak. Dalam kali lain, orang tua mereka yang tak setuju. Padahal, alasan-alasan penolakan itu, sama sekali tak benar-benar bisa dibenarkan.
Tunai memikirkan bab jodoh, imajinasinya melayang pada andai-andai jika kelak menikah. Hidup dengan wanita yang mulanya lain, memiliki keluarga dari pihak wanita yang memang asing, membiayai hidup sang istri, dan lain sebagainya. Termasuk bayangan jika istrinya hamil, perawatan menuju persalinan, kemungkinan operasi, segala jenis kebutuhan anaknya, dan bayangan jika kelak anaknya dewasa. Hidup si pemuda setelah bayangan kedua, terasa semakin sempit dan gelap.
Tak lama kemudian, giliran soal pekerjaan yang mampir. Sekian lama bekerja, tetapi begitu-begitu saja. Gaji stagnan, jabatan tak kunjung naik. Belum lagi persoalan di pekerjaan yang semakin subur. Baik dengan sesama rekan kerja, atasan, hingga masalah-masalah lain yang mustahil didaftar satu persatu. Hal itu diperparah dengan kontraknya yang tak kunjung diperpanjang. Ancaman pemutusan hubungan kerja benar-benar nyata di hadapannya.
Lalu, imajinasi pun melayang menuju kampung halamannya. Ada ayah dan ibu yang harus dibiayai, adik-adiknya yang masih sekolah, rumah keluarga yang belum kunjung direnovasi, dan gunjingan serta hinaan dari tetangga yang jumlahnya semakin banyak, melebihi buih di lautan luas. Lengkap sudah, pikiran pemuda ini, lebih pekat dan gulita dari malam yang belum memasuki puncaknya kala itu.
Maka, ia pun beranjak. Berpindah tempat duduk. Mencari tiang untuk bersandar. Sebelumnya, ia telah meraih dan mendekap mushaf suci di dadanya. Pikirnya sederhana, “Pasti di dalam Kitab ini ada solusinya.”
Ta’awudz tunai dilafal, berlanjut dengan basmalah dan surat al-Fatihah. Lalu, ia menuju akhir tilawah terakhirnya untuk melanjutkan. Juz sebelas. Di akhir surat at-Taubah itu, pikirannya melayang jauh dalam proses jihad qital di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya. Tak lama, imajinasi terkait masalahnya pun hilang. Larut dalam kisah-kisah Nabawi yang menenteramkan jiwa.
Tapi, ketenteraman itu tak berlangsung lama. Bayangan ngeri kembali muncul. Seketika. Begitu saja. Tanpa diminta. Lantas, hatinya pun melafal istighfar seraya melanjutkan tilawah. Akhir at-Taubah, ia pun masuk ke surat Yunus. Saat itulah, Allah Ta’ala turunkan kesejukan di dalam hatinya.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat, kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu. Maka sembahlah Dia. Maka, apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Yunus [10]: 3)
Pemuda itu seperti mendapat bisikan di dalam hatinya, “Mengapa kamu pusing? Memangnya masalah-masalahmu lebih besar dari bumi? Apakah soalan hidup yang kauhadapi lebih pelik dari penciptaan langit dengan seluruh lapisannya?”
Dialog batin pun berlanjut, “Amat mudah bagi-Nya untuk menyelesaikan semua masalah yang kauhadapi. Tak sukar bagi-Nya untuk memberikan semua yang kauinginkan. Sebab, Dialah yang mencipta bumi, langit dan seluruh isinya. Maka, atas alasan apa perasaan galau di dalam hatimu itu? Bukankah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Selepas itu, lelaki ini pun menunduk dalam-dalam, menghirup nafas panjang, lalu melepaskannya. Malu-malu menatap langit-langit masjid, ia bertutur lirih, “Terimakasih ya Allah atas ketenteraman dan solusi yang Kauberikan. Alhamdulillah.” [Pirman/Kisahikmah]