Mari berterima kasih dan senantiasa mendoakan para pendahulu dalam Islam. Semoga Allah Ta’ala menerima amal kebaikannya, mengampuni dosa-dosanya, dan berikan tempat terbaik di sisi-Nya. Di antara alasannya, melalui ketajaman pikiran dan kejernihan jiwanya, mereka berhasil merumuskan kebaikan-kebaikan sehingga kita dimudahkan dalam memahaminya.
Selain itu, mereka juga piawai memetakan tabiat buruk jiwa atau penyakit hati yang kerap dialami sehingga kita dengan mudah melakukan identifikasi dan selanjutnya memberikan aneka terapi penyembuhan. Satu contohnya, terkait penyakit serakah.
Dalam al-Hikam, Ibnu Athailah as-Sakandari mengatakan, “Tidaklah dahan-dahan kehinaan tumbuh melainkan dari benih ketamakan (sifat serakah).”
Keserakahan terkait harta duniawi, misalnya, disebutkan oleh Nabi bahwa manusia tak akan pernah puas dengannya. Jika miliki satu lembah harta, maka manusia menginginkan lembah kedua. Jika sudah dua, ia berhasrat untuk mempunyai tiga lembah. Dan jika sudah direngkuhnya tiga lembah dunia, nafsunya pun ingin memiliki lembah yang keempat.
Selanjutnya, manusia akan menjadi budak dari sifat serakah yang bercokol di dalam hatinya. Ibnu Athailah as-Sakandari melanjutkan, “Dan engkau adalah budak dari segala sesuatu yang engkau tamak (serakah) terhadapnya.”
Inilah yang menjadi bibit sifat korupsi. Biasanya bermula dari hal sederhana berupa sifat serba ingin dan mudah kagum. Melihat tetangganya membeli rumah baru, langsung kepingin. Mengetahui sebelahnya menambah aset berupa tanah, segera berhasrat, dan sebagainya. Alhasil, jika iman tak ada, maka ia akan melakukan berbagai macam cara demi mewujudkan ambisinya itu.
Karenanya, pahamilah dengan baik silsilah sifat serakah ini. Dari mana asalnya, siapa ayahnya, apa tujuan utamanya, pekerjaannya, dan buah-buah yang ditumbuhkan dari benih jahatnya.
Menjelaskan nasihat spiritual Ibnu Athailah as-Sakandari di atas, Abu Bakar al-Hakim mengatakan, “Jika sifat serakah bisa ditanya, ‘Siapakah ayahmu?’, maka ia akan menjawab, ‘Keraguan seorang hamba akan takdir Allah Ta’ala.’”
“Jika ia ditanya, ‘Apa pekerjaanmu?’, jawabnya, ‘Merendahkan diri’. Dan jika ditanyakan, ‘Apa tujuanmu?’, maka sifat serakah itu akan sampaikan jawaban, ‘Kesia-siaan.’”
Itulah buruknya sifat serakah yang kerap menghantui pribadi kaum Muslimin. Dimana akibat buruknya tak terbatas pada hal-hal duniawi, tetapi juga berlanjut kepada siksa akhirat jika meninggal sebelum bertaubat.
Maka terapinya, selain merasa cukup dengan karunia Allah Ta’ala, seorang hamba harus senantiasa memanjatkan doa agar dijauhkan dari keburukan sifat tersebut. Kiat lainnya, bergaullah dengan orang yang lebih rendah dalam hal duniawi. Itulah yang membuat seseorang bersyukur dan cukup dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan. [Pirman/Kisahikmah]