Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, ‘Abdullah bin Zaid pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanjatkan doa, “Ya Allah, jadikanlah mereka sebagai teman-temanku di surga.” Doa ini beliau ucapkan di dalam perang ‘Uhud saat pasukan kaum Muslimin berhasil dilumpuhkan oleh kaum kafir dan sekelompok kafir Quraisy itu tengah berupaya membunuh Nabi.
Lalu, kepada siapakah doa ini dialamatkan? Betapa bahagianya mereka yang diminta oleh Nabi untuk menjadi teman beliau, kelak di surga keabadian.
Ketika sejumlah kaum Muslimin berlarian dalam perang ‘Uhud, sejumlah kafir Quraisy terlaknat merangsek untuk membunuh Nabi. Akan tetapi, ada dua orang dari kalangan kaum Muslimin yang mendekati beliau. Ialah seorang ibu dan anaknya.
Saat seorang pasukan Quraisy mendekati Nabi dengan menungang kuda, sang ibu yang mendapatkan bantuan senjata dari kaum Muslimin yang lari ketakutan bergegas mengincar kaki kuda. Berhasil, kuda pun tersungkur. Lalu, Nabi berseru kepada si anak untuk membantu ibunya.
Atas kerjasama iman antara anak dan ibu itu, penyerang Rasulullah pun mati. Tragis. Dikeroyok. Padahal, yang mengeroyok hanyalah seorang wanita dan anaknya. Demikian inilah perlambang pertarungan antara iman dan kekafiran. Iman akan menang, dan kekafiran akan senantiasa binasa. Di dunia, apalagi di akhirat.
Menyaksikan keberhasilan dua anak manusia itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun tersenyum. Si muslimah calon penghuni surga ini terluka parah. Bahkan disebutkan, terdapat bekas sabetan pedang di pundaknya. Dari luka itu, darah tak berhenti mengalir. Dan, lukanya baru sembuh setahun kemudian.
Melihat luka sang mujahidah mulia ini, Nabi pun bersabda kepada anaknya, “Lihatlah ibumu, balutlah lukanya.” Sang anak pun bergegas mengambil kain yang ada, lalu membalut luka bundanya dengan cinta dan iman yang membara.
Ketika keduanya tengah bersinergi dalam kerjasama iman inilah, sang manusia terbaik sepanjang zaman berdoa, “Ya Allah, jadikan mereka sebagai teman-temanku di surga.” Demi mendangar kalimat doa Nabi yang pasti terkabul itu, sang anak pun menuturkan, “Mendengar doa Nabi itu, aku sudah tidak lagi memikirkan urusan dunia sedikit pun.”
Duhai, siapakah sebenarnya mereka ini? Betapa mulianya mereka? Adakah kita iri dan bergegas untuk mendapatkan derajat serupa di surga-Nya kelak?
Sekeluarga yang mulia ini adalah Zaid bin ‘Ashim dan istrinya, Ummu Umarah. Ialah wanita mulia yang terdepan dalam shalat, puasa, dan jihad (Baca: Inilah Wanita Pertama yang Berperang di Jalan Allah). Sedangkan dua anaknya yang turut dalam jihad ‘Uhud ini adalah ‘Abdullah dan Habib. Semoga Allah Ta’ala meridhai mereka, dan kita semua. Aamiin. [Pirman/Kisahikmah]