Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terlihat tengah bersedih. Ada gurat kegundahan di wajah cerah nan inspiratifnya. Tak lama, paras penuh pesona itu berangsur bercahaya. Cerah. Sumringah. Bersimbah senyum.
Merasa heran, para sahabat pun bertanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai kekasih Allah?” Sang manusia teladan sepanjang zaman pun mengatakan, dirinya diperlihatkan dua orang yang bertengkar. Saling tuntut di hadapan Allah Ta’ala. Lalu, keduanya dimasukkan ke dalam surga-Nya.
“Ya Allah, dia telah berlaku zalim kepadaku saat di dunia.” seru sang penuntut. “Maka,” lanjutnya penuh semangat, “hukumlah dia.”
Sosok yang dituntut hanya menunduk. Diam. Hendak menjawab, tapi tak kuasa. Ia hanya bersedih seraya meneteskan air mata. Pedih. Perih. Bayangan hukuman telah menggelayut di pelupuk matanya.
Dalam jenak, Allah Ta’ala menghadirkan sebuah istana amat indah, rumah surga, di hadapan keduanya. Firman-Nya, “Wahai hamba-Ku, angkatlah kepalamu.”
Kedua insan itu pun saling menyaksikan keindahan, kemegahan, kemewahan, dan kenyamanan istana surga yang tersedia di hadapannya. Seketika itu, si penuntut bertanya, “Ya Allah, untuk Nabi siapakah istana ini diperuntukkan?”
“Tidak harus seorang Nabi yang berhak memilikinya.” jawab Allah Ta’ala menegaskan.
Si penuntut pun melanjutkan tanya serupa sebanyak dua kali; untuk orang jujur siapakah istana ini kelak diberikan? Bagi orang shalih manakah istana ini akan diwariskan?
Dan Allah Ta’ala menjawab serupa, lalu memberikan keterangan, “Siapa saja berhak memilikinya, asal bisa membayar harganya.”
“Berapakah harganya, wahai Rabbi?” tanya si penuntut amat antusias. “Dengan apakah orang yang berkehendak akan memilikinya? Siapa yang beruntung mewarisinya?” lanjut si penuntut memburu jawaban.
“Adalah dirimu mampu membayar harganya.” jawab-Nya. Kemudian Dia menyampaikan harganya, “Jika kau memaafkan saudaramu itu, pastilah istana ini akan menjadi milikmu.”
Tanpa jeda, laki-laki penuntut pun langsung menyampaikan kesanggupannya, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, wahai Rabbi. Sungguh, aku telah memaafkannya. Aku telah memaafkannya. Aku telah memaafkannya.”
Sebagaimana dikisahkan oleh Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan, kesudahan laki-laki yang dituntut pun berakhir di surga yang penuh kenikmatan. Pasalnya, kedua laki-laki ini, dahulunya adalah saudara. Mereka bersaudara atas nama iman. Dan itulah satu-satunya persaudaraan yang mampu menyelamatkan. Masya Allah… [Pirman/Kisahikmah]