Lautan kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar menjadi saksi atas kepergian lelaki surga ini. Wafatnya membuatnya ‘arsy bergetar. Meski badannya besar dan fisiknya tinggi, tetapi pengusung kerandanya merasakan ringan yang sangat.
Siapakah beliau? Apakah yang menyebabkannya mengalami wafat dengan amat gemilang?
Ialah Sa’ad bin Muadz. Salah seorang sahabat Nabi yang mulia; terdepan dalam jihad dan shaf shalat. Di hari wafatnya, para sahabat Nabi saling berbisik, “Mengapa jasadnya ringan? Padahal ia adalah sosok yang tinggi besar?”
Kemudian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan sebabnya, “Ada beberapa pengusung selain kalian.” Sumpah Nabi menjelaskan, “Demi Allah Ta’ala yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, para malaikat menyambut dengan gembira akan kedatangan ruh Sa’ad. Bahkan, ‘Arsy pun bergetar.”
Saat rombongan pembawa jenazah memasuki lautan gurun pasir menuju pemakaman, batu-batu berguguran dari bukit. Mereka berjalan menuju satu lokasi, seraya menunjukkan dimana sahabat Nabi itu harus dimakamkan.
Pengakuan lain, berasal dari para sahabat Nabi yang menggali makamnya. Dalam setiap cangkul tanah berpasir tergali senantiasa mengeluarkan aroma yang sangat wangi. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri yang memasukkan jenazah mulia itu ke liang lahat, dan menimbunnya dengan tanah. Betapa mulianya.
Itulah akhir hayat para mujahid yang berjuang di jalan Allah Ta’ala dengan kualitas keikhlasan terbaik. Mereka berjuang dengan jiwa dan raganya hanya mengharapkan ridha-Nya. Bukan untuk dunia, wanita, atau hal remeh temeh lainnya.
Fisik mereka mewangi, kepergian mereka menginspirasi, dan sosoknya menjadi perbincangan generasi-generasi penerusnya dari kalangan kaum Muslimin yang merindukan kematian serupa. Alhasil, meski telah berkalang tanah, mereka senantiasa hidup.
Kepada merekalah seharusnya kita iri. Menjadi seperti merekalah seharusnya kita berjuang dengan sepenuh hati. Bukan untuk menjadi perbincangan generasi yang ditinggalkan, tetapi agar layak mendapatkan warisan surga.
Itulah warisan terbaik, tempat yang dipenuhi kenikmatan tanpa batas, peristirahatan terakhir yang dipenuhi bidadari-bidari dari kalangan wanita salehah di dunia dan wanita-wanita surga. Itulah tempat yang lebih luas dari langit dan bumi yang memiliki banyak pintu.
Meski tak layak, mari tetap meminta surga. Sebab diri yang lemah ini sangat tak kuasa menanggung siksa neraka dengan nyala apinya. [Pirman]