Orang-orang saleh dan ahli ibadah adalah permata bagi zaman. Bahkan, salah satu tanda dicabutnya ilmu adalah diwafatkannya para ulama yang saleh dan ahli ibadah itu. Berikut ini yang kelak terjadi jika seorang ahli ibadah wafat.
Fisiknya terbujur di pembaringan. Lemah. Tapi sorot matanya masih menyala. Senantiasa menginspirasi. Di sekelilingnya, duduklah ayah, ibu, istri, dan anaknya. Lepas disapu pandang satu demi satu, terlihatlah olehnya sosok ayahnya. Sedang menangis.
Maka, pintanya kepada yang hadir, “Tolong, bantu aku untuk duduk.” Kemudian, ia bertanya dengan nada lemah, namun memiliki daya ruhani yang kuat, “Apa yang membuat Ayah menangis?”
“Nak,” jawab sang ayah, “aku membayangkan, jika kau meninggal dunia, aku akan sangat merasa kesepian sebab kehilangan dirimu.” Itulah sebab tangisan sang ayah; sepi sebab kehilangan sang anak yang menjadi buah hatinya.
Setelah itu, sosok saleh ini pun menyampaikan tanya serupa kepada ibunya. Jawab sang ibu, “Aku merasakan, betapa pedihnya perpisahan denganmu, Anakku.” Pedih. Itulah yang menggambarkan perasaan ibu ketika kehilangan buah cintanya.
Kemudian, saat pertanyaan yang sama disampaikan kepada istri sang saleh yang sudah dekat dengan ajalnya itu, sang istri menyampaikan alasan tangisnya, “Aku akan kehilangan kebaikanmu selama ini. Lantas, dari manakah aku bisa mendapatkan ganti kebaikan darimu, wahai Suamiku yang saleh?”
Terakhir, tanya serupa pun ditujukan kepada anak-anaknya yang tengah menangis di sampingnya. “Nak,” tanya lelaki ahli ibadah itu, “mengapa kalian menangis?”
“Sebab,” jawab mereka lugu, “kehinaan yang akan kami alami setelah Ayah pergi. Kami akan menjadi yatim.”
Tunai mendengar jawaban ayah, ibu, istri, dan anak-anaknya, lelaki saleh yang terbujur di atas tempat tidur ini pun menangis. Keras. Tersedu-sedu. Pilu. Sedih yang mendominasi. Sehingga, mereka yang tadi ditanya, kini balik bertanya serupa, “Mengapa kau menangis, anakku, suamiku, dan ayahku?”
“Aku sedih. Sebab, kalian menangisi diri kalian sendiri, bukan menangisi kepergian dan kepedihan yang pasti kualami setelah mati. Tidak ada yang menangisi betapa panjangnya perjalanan yang harus kulalui, sedikitnya bekal yang kukumpulkan, ketika aku harus ditimbun oleh tanah, terhadap kepastian balasan atas keburukan yang kulakukan.”
“Dan,” pungkasnya, “tidak ada di antara kalian yang menangisi bagaimana kelak ketika aku berdiri di hadapan Rabbku untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang kulakukan.”
Rabbi, barangkali kita cukup bertanya, “Jika orang saleh itu ditangisi, pantaskah kita mendapatkan tangis serupa dari orang-orang yang kehilangan kebaikannya?” Jangan-jangan, orang-orang justru berbahagia dalam tawa sebab kepergian kita. Na’udzubillahi min dzalik. [Pirman]