Malam itu, sang istri menunggu kedatangan suami yang amat dicintainya. Sang suami, sebagai bukti cintanya, saban hari bekerja apa saja di sebuah pasar yang letaknya lumayan jauh dari rumah kedua pasangan yang saling mencintai itu. Nampaknya, keduanya adalah pengantin yang baru mekar cintanya.
Berselang lama, terdengar suara ketukan di pintu rumahnya. Hatinya berdetak lambat-lambat, namak gugup. Rupanya, yang ditunggu akan segera tiba. Dengan suasana hati rindu bercampur sedikit kebingungan, beranjaklah bidadari itu untuk membukakan pintu.
Benarlah, suaminya pulang. Meski, ada riak sama yang tak biasanya. Sang suami nampak sedih, sebab pulangnya kali itu dengan tangan hampa. Sedang istrinya nampak lusuh, rambut panjangnya terurai berantakan, sebab tak tersentuh oleg gigi sisir.
Selepas disuguhi minuman ala kadarnya, sang suami nampak merogoh sakunya. Istrinya berharap, moga yang dirogoh adalah lembaran mata uang, agar dapur kedua pasangan itu bisa mengeluarkan asap masakan.
Ternyata, suaminya mengeluarkan gagang jam tangannya yang putus. Aduhai, ini ujian apalagi? Bisik sang istri. Pasalnya, ia juga menyembunyikan salah satu kepiluan yang menyebabkan rambutnya berantakan.
Lantas, karena membaca riak kebingungan dalam wajah sang suami, tanpa dimintanya, istri satu-satunya itu berkata, bahwa sisir yang saban hari digunakan untuk merapikan rambutnya itu, semua giginya patah. Alhasil, rambut panjang yang biasanya terurai indah, kini terlihat kusut masai dengan semerbak bau yang mulai menyebar.
Entah energi apa yang mendorong, keduanya pun saling mendekat. Kemudian kedua matanya bertemu pandang, hingga syahdu, tenang, dan saling memeluk. Tanpa terasa, air mata kedua pasangan itu menetes pilu, satu satu.
Esoknya, sang suami beranjak ke pasar. Lebih semangat dari biasanya. Rupanya, energi syahdu semalam termanfaatkan dengan baik olehnya. Ia berpamit. Tak lama, tanpa sepengetahuan suaminya, sang istri juga beranjak keluar rumah. Ada urusan yang hendak diselesaikannya.
Berbeda dengan biasanya, sang suami pulang lebih awal. Wajahnya cerah, ceria dan berwarna merona. Ada luapan bahagia yang tak biasa. Ditentenglah sebuah kantong kecil di tangannya.
Sesampainya di rumah, sang istri juga tak kalah sumringahnya. Rona bahagia terpancar, terlebih saat pangerannya itu sampai di surga tempat mereka merenda hidup bersama.
Sang suami, agak kaget saat menyaksikan istrinya. Rambutnya tak sepanjang malam tadi. Rupanya, sang istri memotongnya. Entah bagaimana mulanya, sang istri langsung menyampaikan, “Mas, kupotong rambutku,” tertahanlah suara perempuan itu. Lanjutnya, “Aku sengaja melakukannya, kemudian menjual rambutku untuk dibelikan ikat jam tanganmu yang kemarin putus itu,” aduhai, romantisnya.
Sambil menganga mulutnya, sang suami berkata, putus-putus, “Sayang, aku juga telah membelikan sisir untukmu.” Rupanya, “Kujual saja jam tanganku sebab putus tali ikatannya. Uang penjualannya, kubelikan sisir. Agar rambutmu terawat dan tetap cantik.”
Begitulah energi cinta sepasang suami istri. Bukan menuntut, tetapi memberikan. Mereka tak pernah berpikir mau menuntut apa terhadap pasangannya, tetapi apa yang akan diberikan, itu jauh lebih penting untuk diupayakan.
Meski banyak jalur riwayatnya, moga kisah ini menjadi pelajaran untuk pasangan suami istri kaum muslimin di mana pun beradanya. Bahwa ada banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan untuk memberikan persembahan terbaik bagi pasangan kita. Persembahan iman, persembahan cinta. Berharap, Allah Swt memberikan balasan terindah atas apa yang kita berikan.[pirman]