Imam adh-Dhahhak menyebutkan bahwa puasa diwajibkan sejak zaman Nabi Nuh ‘Alaihis salam sebanyak tiga hari setiap bulannya. Syariat itu senantiasa berlaku hingga kewajiban puasa diperintahkan oleh Allah Ta’ala pada tahun kedua Hijriyah kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mulanya, mereka yang berpuasa harus menahan makan, minum, dan hubungan suami-istri dari pagi hingga malam hari sampai seseorang tertidur. Jika sudah tertidur, mereka tidak dibolehkan makan, minum, dan berhubungan suami istri lagi, meski belum masuk waktu fajar.
Sebab memberatkan, maka Allah Ta’ala pun menasakh hukum puasa untuk umat Muhammad dengan jenis puasa yang amat mudah sebagaimana kita lakukan saat ini. Yaitu menahan makan, minum, berhubungan suami-istri, dan meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Di malam harinya, Allah Ta’ala pun menghalalkan hubungan suami-istri, baik berupa cumbu rayu (rafats) maupun jima’.
Inilah syariat yang amat mudah sebagai bentuk Rahmat Allah Ta’ala. Sayangnya, masih banyak mereka yang mengaku Islam, tetapi tidak menjalankan ibadah yang garansinya predikat takwa. Na’udzubillah.
Hikmah Menurut Ibnu Katsir
Saat menafsirkan surat al-Baqarah [2] ayat 183, Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan akhlak yang tercela.”
Makan, minum, dan berhubungan suami istri adalah kebutuhan. Tetapi, jika manusia berlebih-lebihan dalam melakukannya, mereka telah jatuh pada kebiasaan buruk yang membinasakan. Apalagi, amat banyak manusia yang tak ubahnya hewan. Mereka hanya makan, minum, dan menuruti nafsunya tanpa pernah memikirkan halal dan haram.
Lebih parah, jika hewan saja masih pilah-pilih dalam makan, minum, dan hubungan intim, sebagian manusia tidak demikian. Ada di antara mereka yang makan dengan aspal, besi, dan bahan bangunan yang mereka korupsi, sebagiannya minum dengan solar, bensin, dan air yang didapat dengan mencurangi rakyat, bahkan ada yang berhubungan intim sesama jenis ketika tak ada hewan yang melakukannya kecuali babi.
Selanjutnya, beliau mengatakan, “Puasa dapat menyucikan badan dan mempersepit jalannya setan.” Beliau pun mengutip sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Wahai para pemuda, jika di antara kalian sudah mampu untuk menikah (ba’ah), maka menikahlah. Dan jika belum mampu, hendaknya kalian berpuasa karena puasa merupakan penawar baginya.”
Selain itu, hikmah puasa juga terdapat dalam syariat pelakasanaannya yang hanya sebulan dalam setahun; tidak setiap hari. Tutur Imam yang juga menulis kitab al-Bidayah wan-Nihayah ini, “Supaya jiwa manusia tidak merasa keberatan sehingga lemah dalam menanggung dan menunaikannya.”
Selain itu semua, hikmah yang paling besar adalah mega bonus bernama takwa. Ialah kunci sukses dunia dan akhirat yang menjadi salah satu sebab turunnya pertolongan Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman.
Semoga kita bisa menjalani sisa Ramadhan ini dengan kualitas terbaik. [Pirman/Kisahikmah]