Ketergelinciran seorang hamba dimulai ketika kehidupannya dipenuhi dengan obsesi duniawi. Saat pikirannya sibuk dengan harta, matanya silau dengan kemilau yang sementara, hingga hatinya lalai dari mengingat Allah Ta’ala yang Mahamulia. Saat itu, hidupnya menjadi liar; tak peduli halal dan haram, baik ataupun buruk. Semuanya dijalani demi memenuhi apa yang menjadi obsesinya.
Orang-orang inilah yang bangunnya memikirkan recehan mata uang, sepanjang harinya sibuk mengumpulkan pernak perniknya, hingga ia lupa mengingat Allah Ta’ala, lalai akan waktu shalat, dan tak tertarik dengan apa pun yang tak berhubungan dengan duniawi. Padahal, Allah Ta’ala justru memberikan dunia kepada siapa yang tak tertarik padanya, dan melimpahkan karunia kepada siapa yang dikehendaki-Nya, bukan kepada siapa yang mengejar dunia.
“Ketika seseorang tidak memiliki keinginan apa pun di pagi dan sore hari, kecuali kepada dunia,” tutur Ibnul Qayyim dalam al-Fawaid, “Maka Allah Ta’ala akan membebankan padanya semua yang menjadi keinginannya.”
Inilah beban-beban duniawi yang memberatkan pundak dan fikir. Selain itu, beban-beban tersebut akan ditambah dengan, “Allah Ta’ala akan meninggalkannya,” lanjutnya menasihati.
Duhai, bukankan ini musibah di atas musibah? Bukanlah ini kejatuhan dalam jurang nestapa? Bukankah ditinggalkan Allah Ta’ala adalah musibah yang jauh lebih dhasyat dari kehilangan sebanyak apa pun harta dunia?
Di antara tanda orang-orang yang ditinggalkan Allah Ta’ala ini, lanjut Ulama’ kenamaan yang banyak menulis teman pensucian jiwa, “Allah Ta’ala akan menjadikan orang tersebut lalai dari ketaatan dengan mengabdi kepada sesamanya.”
Inilah yang menjadi sebab bermulanya penghambaan diri seseorang kepada sesama manusia. Ia mulai sibuk, kemudian tertarik dan mencintai pengabdian kepada manusia dalam berbagai aspeknya. Padahal, mengabdi hanyalah kepada Allah Ta’ala. Dan agama ini, diturunkan untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama menuju penghambaan kepada Allah Ta’ala semata.
Inilah di antara ujian terberat. Ujian yang mampu hilangkan kesadaran sebab sibuk dengan duniawi yang amat sementara. Seperti Fir’aun yang terbuai dengan nafsu hingga akui dirinya sebagai tuhan, Qarun yang syahwat dunianya mendominasi sehingga akui kekayaan diri atas upayanya semata, ataupun kaum-kaum terdahulu yang dibinasakan sebab tak akui Allah Ta’ala sebagai tuhannya.
Padahal, hanya kepada-Nyalah seharusnya manusia menyembah, dan hanya kepada-Nyalah seharusnya manusia meminta pertolongan dan bantuan. Sebab, Dialah sebaik-baik Penolong dan Pembela. [Pirman]