Satu-satunya generasi yang harus kita rujuk jika menghendaki kehidupan bahagia dan penuh kekayaan adalah generasi sahabat dan salafushshalih penerusnya. Merekalah generasi terbaik yang belum dijumpai pesaingnya hingga kini. Karena itu pula, Imam Malik bin Anas pernah mengatakan, “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara yang ditempuh oleh salafushshalih dalam menggapai kejayaan.”
“Ridhalah terhadap ketetapan Allah Ta’ala,” nasihat mereka suatu ketika, “maka kalian akan menjadi manusia yang paling bahagia.”
Ridha itu menerima dengan lapang hati. Puas dengan segala jenis pemberian-Nya. Tidak mengeluh. Bersyukur, menikmati semua karunia yang ada, dan tidak sibuk dengan yang belum ada atau terlepas dari genggaman tangan kita.
Sebagai cara penafsiran atas kaidah mulia ini, di masyarakat Jawa terkenal ajaran nerimo ing pangdum. Seberapa pun yang diberikan kepada kita, terimalah, syukurilah, dan nikmatilah.
Bahkan, banyak di antara orang-orang shalih itu yang sama sekali tidak memiliki simpanan untuk esok hari. Saking yakinnya, mereka langsung membagikan semua yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala di hari itu kepada siapa saja yang berhak menerimanya.
Alangkah menakjubkannya, sebab itulah cara paling mudah untuk menggapai bahagia. Di antara alasannya, seseorang tidak sibuk memikirkan soalan penyimpanan, bagaimana jika hilang, dan semua kekhawatiran lain sebab tiada yang dimiliki kecuali telah dimanfaatkan oleh diri, keluarga, atau umat.
“Dan ridhalah terhadap pembagian Allah Ta’ala,” lanjut mereka, “maka kalian akan menjadi manusia yang paling kaya.”
Kaya itu bukan terletak pada banyaknya aset, saldo tabungan, dan kepemilikan-kepemilikan lain terkait harta. Kaya terletak di dalam hati dan hanya dimiliki oleh orang yang beriman.
Bukankah banyak sekali orang kaya tapi tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan bagaimana menyelamatkan hartanya dari ancaman musuh bisnisnya? Bukankah pula sering ditemukan orang yang kaya tapi tak kuasa makan enak karena mengidap banyak penyakit sebab gaya hidup yang tak benar?
Maka kaya hanya bisa digapai dengan puasnya hati atas pembagian dari Allah Ta’ala. Sehingga, sedikit atau banyak bukan menjadi masalah. Intinya pada cara mendapatkan dan bagaimana menyalurkannya. Selama dua hal ini ditempuh dengan cara yang diperintahkan-Nya, jumlah adalah soalan lain yang tak perlu direpotkan oleh pikiran kita yang memang terbatas. Alhamdulillah. [Pirman/Kisahikmah]