Dunia adalah ujian bagi orang-orang yang beriman. Siapa yang pandai menyiasati dan memanfaatkannya untuk kepentingan akhirat, baginya kebahagiaan dan keselamatan. Namun, siapa yang terbuai, memburu dan menumpuknya dengan serakah, baginya kerugian dan siksa nan abadi di akhirat.
Dunia adalah penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir. Orang beriman melihat dunia sebagai sesuatu yang remeh dan tidak ada manfaatnya ketika hanya ditumpuk untuk kesenangan pribadi. Sedangkan bagi orang kafir, dunia adalah segalanya, harta adalah tujuan, dan kemewahan adalah kelebihan di antara mereka.
Dunia adalah perhiasan. Siapa yang tak kenal Allah Ta’ala, maka ia tak akan mengenal keaslian dunia; ia akan tertipu, terbuai dan terjerumus dalam nestapanya dunia.
Dunia, oleh Nabi diibaratkan sebagai sesuatu yang menjijikkan.
Seperti riwayat oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melewati sebuah pasar. Di tengah perjalanan, ada orang yang berkerumun. Nabi pun berhenti, ternyata di sana ada bangkai kambing usia satu tahun yang terputus telinganya.
Nabi pun memungut telinga kambing tersebut. Beliau menawarkan, “Siapa di antara kalian yang mencintai ini untuk ditukar dengan dirham?” Secara serentak, sahabat menjawab, “Kami sama sekali tidak menyukainya. Apa yang bisa kami manfaatkan darinya?”
Seperti meningkatkan tawaran, Nabi menyampaikan, “Apakah kalian suka jika ini diberikan untukmu?”
“Demi Allah,” jawab mereka, “jika seandainya dia hidup pun, kami tidak begitu mengharapkannya.” Sebabnya, kambing itu tak punyai telinga sehingga harganya murah. Apalagi ketika ia mati? Tentu tak ada nilainya sedikit pun.
Kemudian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun menerangkan, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah di sisi Allah dari hal ini (bangkai kambing) di sisi kalian.”
Dari jalur lain sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, akhirat adalah samudera dan dunia adalah apa yang tersisa dari jari seseorang yang dicelupkan ke dalam samudera itu setelah ia mengangkatnya. Sungguh, tak ada sisa dan nilainya melainkan setetes saja.
Ironisnya, meski seburuk ini, banyak orang yang amat mengharapkan dunia, menumpuknya dan bermegah-megahan dengannya. Padahal, semua yang dimiliki, meski satu rupiah, akan dimintai pertanggung jawaban tentang dari mana sumbernya dan bagaimana pemanfaatannya.
Karenanya, orang beriman yang memahami hal ini akan bersikap dengan bijak. Ia memanfaatkan dunia untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal untuk akhirat dengan beramal shaleh sebaik-baiknya. [Pirman]