Betapa bahagianya orang yang dicintai Allah Ta’ala. Kecintaan Allah Ta’ala adalah maqam tertinggi bagi seorang hamba. Dengan cinta itu, seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, kedamaian dan senantiasa dalam keberkahan hidup di dunia, dan kelak meraih kesejahteraan abadi di akhirat.
Kecintaan Allah Ta’ala, adakalanya tak selaras dengan kecintaan manusia. Bahkan, para Nabi yang mulia itu, mereka senantiasa dimusuhi oleh kaumnya. Baik yang dihina dengan caci maki, fitnah, maupun yang mendapatkan siksa fisik nan pedih hingga pembunuhan dengan cara yang tak beradab.
Meski demikian, ada satu amalan yang dijanjikan oleh Rasulullah; bahwa siapa yang melakukannya, maka ia berhak mendapat kecintaan Allah Ta’ala dan dicintai pula oleh manusia.
“Zuhudlah di dunia,” sabda Nabi sebagaimana diriwayatkan dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’di, “niscaya engkau akan dicintai Allah.” Lanjut Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad Hasan ini, “Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya engkau akan dicintai manusia.”
Zuhud adalah berpaling dari sesuatu sebab sesuatu itu remeh dalam pandangannya. Penjelasan makna zuhud ini akan semakin lengkap dengan riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Idris al-Haulani.
“Bukanlah zuhud di dunia dengan mengharamkan yang halal, bukan pula membuang harta. Zuhud di dunia adalah menjadikan apa yang ada di sisi Allah Ta’ala lebih engkau percayai daripada yang ada di tanganmu.”
Itulah dimensi pertama zuhud. Bahwa akhirat dan semua amal untuk menggapainya lebih mulia dari apa yang dilakukan untuk menumpuk dunia semata. Karenanya, orientasi seorang hamba akan fokus pada pencapaian amal terbaik yang dengannya seseorang layak mendapatkan surga. Kesibukannya dengan amalan akhirat inilah yang menjadi sebab abai dan tidak tertariknya ia dengan dunia yang sementara nan tak bermakna apa-apa.
Kemudian dimensi kedua dari zuhud adalah, “Jika mendapatkan musibah, engkau begitu berharap untuk mendapatkan pahalanya.”
Sebab musibah merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian hidup, maka hamba yang zuhud tidak pernah menangisi musibah itu. Ia senantiasa sabar dan tabah seraya memohon kepada Allah Ta’ala agar mendapatkan pahala dan ampunan atas dosa-dosa yang telah dia lakukan. Musibah adalah sarana bagi orang yang zuhud untuk melakukan muhasabah dan menginsafi diri.
“Engkau semakin merendah, membenamkan diri kepada-Nya, seandainya ada yang masih tersisa untukmu.”
Inilah dimensi terakhir dari zuhud. Dalam tahap ini, seorang hamba tidak akan terpengaruh dengan apa yang dialamatkan kepadanya. Baik itu pujian, maupun cacian. Ia tidak pernah fokus dengan hal itu, tetapi senantiasa berjalan pasti dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Tentunya, ia tidak menafikannya; tetapi menyaringnya dan memanfaatkan yang baik, kemudian meluruskan yang buruk, atau membuangnya jika memang tak diperlukan.
Zuhudlah di dunia, agar Allah Ta’ala mencintai kita. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, agar manusia pun mencintai kita. [Pirman]