Untuk menentukan siapa yang berhak memelihara Maryam diadakanlah undian yang diikuti orang-orang shaleh di zaman itu. Mereka berebut sebab mengetahui bahwa Maryam adalah sosok shalehah yang dicintai Allah Ta’ala.
Maka mereka yang berkeinginan menjadi pemelihara Maryam pun menuju sebuah sungai di Yordania dengan membawa busur panahnya masing-masing. Disebutkan dalam sebuah riwayat oleh Imam Ibnu Katsir, “Anak panah siapa yang tetap dan tidak terbawa oleh arus air, maka dialah yang berhak memelihara Maryam binti ‘Imran.”
Dari sekian banyak anak panah, didapatilah satu anak panah yang justru naik ke atas dan mampu melawan arus air. Ialah kepunyaan Nabi Zakariyya. Dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Beliaulah yang tertua, tokoh, ulama’, imam, dan Nabi mereka.”
Dalam pemeliharaan Nabi Zakariyya itulah Maryam berhasil mencapai puncak spiritual yang sukar ditandingi. Karenanya, ia mendapat julukan orang yang terpilih dan disucikan oleh Allah Ta’ala. Selain itu, hal-hal berikut juga menjadi alasan mengapa Maryam layak mendapatkan amanah besar itu.
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah Ta’ala memilih Maryam karena: ibadahnya yang banyak, kezuhudan, kemuliaan dan kesuciannya dari kotoran serta bisikan setan.”
Setelah pemilihan yang pertama, Allah Ta’ala memilih Maryam untuk kedua kalinya. Maryam berhak menjadi penghulu wanita-wanita di surga-Nya kelak.
Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Maryam disejajarkan dengan Khadijah binti Khuwailid yang merupakan istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Keduanya merupakan wanita terbaik pada zamannya masing-masing.
Sedangkan dalam riwayat Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik disebutkan, “Cukuplah bagimu dari wanita di dunia; Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, dan Asiah istri Fir’aun.”
Dalam riwayat yang lain, selain disebutkan empat nama wanita yang mulia itu, Rasulullah menambahkan nama ‘Aisyah binti Abu Bakar dalam deretan wanita-wanita yang mulia di dunia dan surga-Nya kelak.
Terkait hikmah mengapa Maryam diperintahkan untuk memperbanyak dan memperbagus kualitas ibadahnya, Imam Ibnu Katsir menyebutkan, “Untuk menghadapi apa yang Dikehendaki Allah Ta’ala terhadap dirinya; ialah ketentuan dan ketetapan-Nya, yang di dalamnya terkandung ujian dan derajat yang tinggi di dunia maupun akhirat.”
Maka jelaskah sudah. Bahwa ibadah merupakan satu-satunya bekal yang biasa menguatkan seseorang untuk menghadapi ujian hidup di dunia yang penuh fitnah. Dengan ibadah itu, seorang hamba akan kuat dan istiqamah dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh larangan-Nya. [Pirman]