Setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, ada sebagian kaum Muslimin yang berpendapat bolehnya berlepas diri dari ajaran beliau dengan tetap beriman kepada Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang menjadi pemicu utama munculnya nabi-nabi palsu di zaman pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Dua nama nabi palsu yang paling masyhur dan berhasil diperangi oleh sahabat terbaik sekaligus mertua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini adalah Musailamah al-Kadzdzab dan Tulayhah. Guna memerangi Musailamah si pembohong, Abu Bakar ash-Shiddiq mengutus panglima besar kaum Muslimin, Khalid bin Walid yang berjuluk pedang Allah yang selalu terhunus.
Ada satu kejadian inspiratif dalam peperangan ini, Musailamah berhasil dibunuh dengan tombak oleh seorang penombak kenamaan yang dahulunya tidak beriman kepada Allah Ta’ala ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai dakwah di Madinah.
Bahkan, melalui tombaknya ini, salah satu pejuang Islam terbaik, ialah Hamzah bin Abdul Muthalib yang merupakan paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjemput takdir syahidnya.
Disewa oleh Hindun, sang penombak berkulit hitam berhasil mengarahkan tombaknya tepat di jantung sayyidina Hamzah. Setelah tak bernyawa, Hindun langsung mendatangi dan mengoyak dada serta menghancurkan jeroan paman Nabi yang gagah pemberani ini.
Beruntung, hidayah menyambangi sang penombak yang tak lain adalah Wahsyi. Dalam naungan cahaya Islam, ia turut serta dalam kafilah perang melawan nabi-nabi palsu. Dari tombkanya itu pula, Musailamah tewas. Mengenaskan.
Dari Wahsyi, seharusnya kita belajar. Bahwa semua kita memiliki masa lalu. Tiada yang boleh mengungkit masa lalu orang lain. Masing-masing pribadi bertanggungjawab dengan masa lalunya.
Perjalanan hidup seseorang, sebagian besarnya adalah takdir. Kita benar-benar tak kuasa menjatuhkan pilihan. Hanya mengikuti garis takdir yang ditentukan, meski ada faktor usaha yang dimampukan kepada kita yang banyak kelemahan ini.
Wahsyi menjalani hidupnya sebagai seorang profesional. Karena keahliannya mengarahkan tombak, Hindun menyewanya dengan bayaran yang besar. Dikerjakan dengan baik, dia pun menerima upah atas keahlian yang dimiliki.
Saat hidayah menyapa, Wahsyi berhasil naik kelas. Tidak ada yang menyewanya. Tidak ada pula yang membayarnya. Dan ketika tombaknya berhasil mengoyak salah satu manusia terburuk yang mengaku Nabi, ganjaran bagi Wahsyi telah tunai. Allah Ta’ala yang kelak membayarnya. Dengan bayaran terbaik.
Akhirnya, pilihan di tangan kita. Hendak menyambut hidayah atau terus bergelimang dalam dosa.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]