Dari kediamannya, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani hendak menuju Baghdad. Menuntut ilmu. Oleh sang ibu, kiyai kharismatik ini dibekali beberapa dinar yang diletakkan di saku bajunya. Pesan sang ibu, “Jangan berbohong.”
Beliau yang masih belia kala itu, berangkat bersama kafilah dagang yang menuju lokasi serupa. Agak banyak. Malangnya, kafilah dagang itu dicegat oleh sekelompok perampok. Nyawa dan seluruh perbekalan pun terancam dirampas.
Sebab kecil dan tak terlihat tanda-tanda berharta, Syeikh Abdul Qadir pun tidak dihiraukan. Lama tertahan, hingga akhirnya ada satu orang perampok yang memerhatikannya. Iseng, si perampok bertanya, “Apakah kaum punya harta?”
Tak disangka, Syeikh kecil ini menyampaikan jawaban detail; sekian dinar, diletakkan di saku baju. Ditunjukkan. Sontak saja, si perampok pun heran. Lalu, dilaporkanlah kepada ketua perampok bahwa ada anak kecil yang jujur dalam rombongan kafilah dagang itu.
“Mengapa kamu berkata jujur?” bentak ketua perampok
“Ibuku berpesan demikian,” jawab Syeikh kecil. Kalem.
“Memangnya ibumu bisa melihatmu sekarang?” ineterogasinya kedua kali dengan bentakan yang lebih kencang.
“Betul, ibu tak melihatku saat ini.” Lanjut sang Syeikh menerangkan, “Saat aku berjanji untuk tidak berbohong kepada ibu, Allah Ta’ala Menyaksikanku. Dan kini, saat ibu tidak ada, Allah Ta’ala tetap Menyaksikanku.”
“Karenanya,” tutup sang Syeikh, “aku menyampaikan jawaban sejujurnya, sebagaimana keadaan diriku yang membawa sejumlah harta untuk belajar.”
Atas jawaban lugas nan berani itu, ketua perampok terhenyak. Di benaknya ada pertarungan antara nurani tulus dan perbuatan bengisnya selama ini. “Anak ini berkata jujur karena takut kepada Allah. Bagaimana dengan diriku yang selama ini tenggelam dalam kejahatan?”
“Wahai anak buahku,” teriak si ketua perampok, “kembalikan semua harta kafilah dagang, tanpa terkecuali.” Meski bingung, seluruh anggota perampok pun mengikuti perintah sang tuannya itu.
“Hai, anak kecil,” tanya ketua perampok kepada Syeikh Abdul Qadir, “ke manakah tempat tujuanmu?”
“Ke Baghdad. Menuntut ilmu.” Jawab Syeikh kecil berwibawa.
“Kami semua,” tegas ketua perampok, “akan ikut menuntut ilmu denganmu.”
Saat menceritakan kisah ini, Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid mengatakan, “Inilah sekelompok orang yang pertama kali masuk Islam melalui ‘tangan’ Syeikh Abdul Qadir al-Jailani.”
Subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallahu wallahu akbar. [Pirman/Kisahikmah]