Hari itu, ‘Umar bin al-Khaththab menempuh perjalanan menuju Baitul Maqdis di Palestina. Dalam perjalanannya, ‘Umar menyaksikan seorang rahib yang tengah khusyuk melantunkan pujian. Di hadapan patung ‘Isa dan ibunya, Maryam, sang rahib menangis sepenuh syahdu. Memanjatkan pinta, harap, permohonan, dan banyak lagi kepada sosok yang didakunya sebagai tuhan itu.
“Kala itu,” kisah Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan, “dengan air mata yang mengalir hingga membasahi jenggot lebatnya, ‘Umar menggumamkan sebuah ayat, ‘Bekerja keras lagi kepayahan. Memasuki neraka yang panas menyala.’”
Menafsirkan ayat yang digumamkan oleh Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab ini-surat al-Ghasiyah [88] ayat 3 dan 4-, Sayyid Quthb mengatakan, “Mereka telah bekerja karena selain Allah, dan payah karena tidak di jalan-Nya.”
Jika bukan karena Allah Ta’ala, siapakah yang mereka tuju? Lanjut mufassir asal Negeri Kinanah ini, “Mereka perpayah-payah untuk mencari kebutuhan dunia guna memenuhi ambisi-ambisinya.” Saking payahnya memperjuangkan ambisi, “Mereka dapati di dunia ini kesengsaraan tanpa bekal.”
Tanpa perlu sibuk menilai orang lain, hendaknya kita menjadikan kisah dan ayat ini sebagai pelecut diri. Apakah amalan apa adanya yang kita kerjakan selama ini hanya diniatkan karena Allah Ta’ala? Jika pun tulus karena-Nya, apakah amalan-amalan itu termasuk dalam makna sunnah Nabi-Nya, atau justru berada dalam gelimang bid’ah yang sesat dan menyesatkan?
Jika banyak amal saja memiliki peluang tertolak karena satu dan lain sebab, bagaimana lagi dengan amal yang amat sedikit? Andaikah tiada yang diterima, lalu kita pulang ke negeri akhirat dengan rugi yang menggunung hingga tergolong dalam makna bangkrut yang sesungguhnya?
Kelak, sebelum masanya terlambat, marilah merenung dalam-dalam. Sebab, jika amalan kita alamatkan kepada selain Allah Ta’ala, lanjut Sayyid Quthb menerangkan, “Mereka dapati hasilnya di akhirat sebagai onggokan-onggokan hitam yang mengantarkannya pada azab. Mereka menghadapi akibat buruk ini sebagai orang yang hina dina dan putus harapan.”
Diakui atau tidak, bahkan ada banyak di antara kita yang sekolah tinggi-tinggi, jauh-jauh hingga keluar negeri, dengan biaya yang amat mahal hingga menggadaikan aset, tapi ujung-ujungnya masuk ke neraka karena salah menggunakan ilmu; memangku jabatan strategis, lalu mengambil jatah uang rakyat sebagai koruptor. Na’udzubillah… [Pirman/Kisahikmah]