Jika ada bisikan di dalam pikiran untuk berbuat zalim, segeralah tepis dengan meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala. Seketika itu juga. Dalam pandangan nafsu yang dibisikkan oleh setan, berbuat zalim sangatlah menyenangkan sebab bisa mendapatkan apa yang dikehendaki melalui jalan singkat dengan cara yang amat gampang.
Padahal, ada perkara besar yang siap menghukum. Meski sebagiannya terjadi di dunia, balasan atas kezaliman jauh lebih besar dan menyiksa, kelak di akhirat. Bahkan, saat balasan atas kezaliman disegerakan di dunia, balasan itu bisa menghilangkan anggota tubuh, kesengsaraan hidup, bahkan bisa mengancam nyawa para pelakunya.
Laki-laki ini tak pernah menyangka. Dengan arogan, ia mendatangi seorang nelayan yang baru merapat ke tepian laut. Bibir pantai. Melaut seharian, hanya sedikit ikan yang berhasil ditangkap. Padahal, ia membutuhkan banyak dana untuk anak-anak dan istrinya.
Duka nestapa si nelayan bertambah ketika laki-laki arogan itu memaksanya untuk menyerahkan hasil tangkapan hari itu. Sebab tak punya kekuatan, mengelak pun sia-sia. Si laki-laki berhasil merampas jerih payah si nelayan sehari itu.
Dengan siulan dan nyanyian ringan, laki-laki sombong pun bergegas menuju pangkalannya. Senang tiada terkira. Hanya modal otot dan emosi, ikan yang didapat dengan perjuangan seharian di bawah terik mentari dan ombang-ambing ombak serta angin bisa berpindah ke tangannya dengan amat mudah. Singkat.
Di tengah jalan, salah satu ikan yang dia bawa meloncat. Menggigit salah satu jarinya. Sakit, meski hanya sedikit luka yang ditinggalkan. Si laki-laki sombong pun tak menghiraukan. Setelah menjual ikan hasil rampasannya, ia bergegas melanjutkan aktivitasnya.
Sial, sakit dari bekas gigitan itu makin menyayat. Perih tiada terkira. Tersiksa. Ia pun mendatangi seorang tabib. Berobat. Betapa laki-laki ini terkejut ketika sang tabib berkata, “Infeksinya sudah parah. Satu jari Anda harus diamputasi agar infeksinya tidak menyebar.”
Tak bisa mengelak. Si sombong pasrah. Satu jarinya melayang. Diamputasi.
Malam harinya, sakitnya tiada berkurang. Bahkan, rasanya makin bertambah. Perih, pedih, nyeri. Semuanya berkumpul menjadi satu. Bersepakat. Si sombong berpikir, mungkin pengaruh obat. Jadi, sengaja dibiarkan sampai obatnya habis.
Rupanya, sakitnya semakin bertambah. Bahkan saat obat dari si tabib habis, rasa nyerinya tak tertahankan. Ia memutuskan kembali kepada tabib, menyampaikan keluhannya.
Malang, sang tabib menyampaikan diagnosa serupa. Agar infeksinya tak menyebar ke bagian tangan, harus dilakukan amputasi di pergelangan. Bak disambar petir, tapi titah sang tabib mustahil dia ingkari. Amputasi pergelangan tangan pun siap dilaksanakan.
Berharap sembuh setelah diamputasi pergelangan tangannya, rupanya rasa sakit masih tersisa. Berhari-hari. Hingga si laki-laki sombong memutuskan kembali ke tabib. Peliknya, sang tabib menyampaikan satu hal mencengangkan dalam dua kunjungan terakhir si laki-laki arogan.
Pada kedatangan ketiga, sang tabib menyampaikan harus ada amputasi ketiga pada bagian siku agar infeksinya tidak menyebar. Sedangkan yang terakhir, sebab si laki-laki tetap merasakan sakit tak terperi, sang tabib pun menyampaikan, harus diamputasi di bagian lengan agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh.
Dalam kunjungan pamungkas itu pula, sang tabib memberanikan diri untuk menyampaikan pertanyaan, “Sebenarnya, dari manakah asal luka di jarimu ini?”
Si laki-laki pun mengisahkan dengan detail. Soal kesombongannya, si nelayan malang, dan perampasan yang dia lakukan. Mendengar dengan cermat, sang tabib memberi saran, “Datangi nelayan itu. Cari sampai ketemu. Mintalah maaf kepadanya.”
Si laki-laki sombong segera melaksanakan saran sang tabib. Berkeliling ke berbagai penjuru kampung dan menyisir bibir pantai untuk menemukan nelayan yang dia zalimi tempo hari. Sepanjang hari.
Qadarullah, atas berbagai petunjuk, si nelayan ditemukan. Ketika laki-laki tak bertangan mendatanginya, ia pun bingung. “Siapakah kau? Ada keperluan apa mendatangiku?” Ia tak mengenali laki-laki itu lantaran perubahan tampilan. Tak bertangan.
Si sombong pun menyampaikan pengakuan. Berkisah secara runut sejak melakukan perampasan hingga empat kali amputasi dengan nada menyesal. Katanya, “Apakah yang kaulakukan hingga aku mengalami musibah setragis ini?”
Sama menyesalnya, sebab tak pernah menyangka akan seperti itu akibatnya, nelayan terzalimi pun menyampaikan pengakuan. “Tatkala engkau pergi selepas merampas hasil melautku, aku memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. ‘Ya Allah, orang ini telah Engkau beri kekuatan atas kelemahanku untuk merampas rezeki yang Engkau berikan kepada hamba. Maka perlihatkanlah kekuasaan-Mu kepada hamba.’”
Kezaliman yang pernah kita lakukan, kelak akan ada balasannya. Jika tidak diberikan secara tunai di dunia ini, bersiaplah untuk menghadapinya di akhirat kelak. Semoga kita dilindungi oleh Allah Ta’ala dari berbuat zalim kepada sesama makhluk di dunia ini. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]